Sabtu, 12 Februari 2011

Analgesik PP

Operasi dapat diklasifikasikan sebagai besar atau kecil, tergantung pada keseriusan penyakit, bagian-bagian tubuh yang terkena, kompleksitas operasi, dan waktu pemulihan yang diharapkan.
1. Operasi besar adalah operasi dari kepala, leher, dada, dan perut. Waktu pemulihan bisa panjang dan mungkin melibatkan tinggal dalam perawatan intensif atau beberapa hari di rumah sakit. Ada risiko yang lebih tinggi komplikasi setelah operasi tersebut. Pada anak-anak, jenis operasi besar mungkin termasuk, namun tidak terbatas pada, sebagai berikut:
a. Penghapusan tumor otak.
b. Koreksi kelainan tulang tengkorak dan wajah.
c. Perbaikan penyakit jantung bawaan, transplantasi organ, dan perbaikan malformasi usus.
d. Koreksi kelainan tulang belakang dan pengobatan luka yang diderita dari trauma tumpul besar.
e. Koreksi masalah dalam perkembangan janin dari, usus paru-paru, diafragma, atau anus.
2. Beberapa operasi bedah minor bahwa anak-anak menjalani dianggap ringan. Waktu pemulihan kembali pendek dan anak-anak dengan kegiatan yang biasa mereka dengan cepat. Operasi ini yang paling sering dilakukan sebagai rawat jalan, dan anak-anak dapat kembali ke rumah pada hari yang sama. Komplikasi dari jenis operasi yang langka. Contoh jenis yang paling umum dari pembedahan kecil dapat meliputi, tetapi tidak terbatas pada, sebagai berikut:
a. Penempatan tabung telinga.
b. Hernia perbaikan.
c. Koreksi patah tulang.
d. Penghapusan lesi kulit.
e. Biopsi dari pertumbuhan.
Pilihan operasi ini adalah prosedur memutuskan anak`harus menjalani, yang mungkin membantu, tetapi belum tentu penting. Sebuah contoh mungkin memiliki tanda lahir dihapus, atau untuk menyunat bayi laki-laki.
Diperlukan operasi ini adalah prosedur yang perlu dilakukan untuk menjamin kualitas`hidup`di masa depan. Sebuah contoh mungkin memiliki fusi tulang belakang untuk memperbaiki kelengkungan parah tulang belakang. Diperlukan operasi, seperti pembedahan darurat, tidak perlu harus segera dilakukan dan dapat memungkinkan waktu untuk mempersiapkan`untuk pengalaman.
3. Mendesak atau operasi darurat Jenis operasi ini dilakukan sebagai respon terhadap kebutuhan medis yang mendesak, seperti koreksi dari kelainan jantung bawaan mengancam kehidupan atau perbaikan organ internal terluka setelah kecelakaan mobil.
Setelah menjalani suatu bentuk operasi, seorang ahli anestesi masih mempunyai tanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan yaitu dapat dilakukan dengan cara monitoring pasien atau dengan kata lain dilakukan observasi. Tujuan dari observasi ini adalah deteksi sedini mungkin dari penyimpangan-penyimpangan fisiologis sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan sedini mungkin sehingga morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin.
Observasi utama dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian karena hipoksia. Selain itu juga perlu dibuat pencatatan teknik yang digunakan dan setiap komplikasi yang terjadi. Hal tersebut dapat berguna bagi pasien di masa mendatang.
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan.
Penanggulangan nyeri pasca bedah yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli anestesi. Hal tersebut dikarenakan berbagai hal sebagai berikut:
1. Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah yang sama. Pengalaman penderita terhadap derajat atau intensitas nyeri pasca bedah sangat bervariasi.
2. Banyak penderita yang kurang mendapat terapi yang adekuat untuk mengatasi nyeri pasca bedah.
3. Bebas nyeri dapat mengurangi komplikasi pasca bedah. Timbulnya nyeri, derajat maupun lamanya pengelaman nyeri dari penderita setelah operasi yang berlainan tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dari penyelidikan yang dilakukan ternyata timbulnya (incidence) intensitas, dan lamanya nyeri pasca bedah sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita yang lain, dari rumah sakit yang berbeda apalagi dari negara yang berbeda. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat operasi tersebut.
2. Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota / team pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.
3. Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.
4. Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan.
5. Kwalitas dari perawatan pasca bedah.
6. Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita
7. Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri
8. Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.
9. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal
10. Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.
11. Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar.
12. Fisiologik, psychologik dari penderita.
Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sebagai berikut :
1. Operasi daerah Thocaro – abdominal
2. Operasi ginjal
3. Operasi Columna vertebralis (spine)
4. Operasi Sendi besar
5. Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas
Penderita setelah selesai mengalami bedah thorax, abdomen maupun operasi ginjal, bila penderita batuk, tarik nafas dalam atau gerakan tunuh yang berlebihan akan timbul nyeri yang hebat.
Macam luka pembedahan (incision) juga sangat berperan dalam timbulnya nyeri pasca bedah, pada luka operasi atau insisi subcostal (Choiecystectomy) kurang menimbulkan rasa nyeri pasca bedahnya dibandingkan luka operasi midline, pada insisi abdomen arah transversal akan terjadi kerusakan syaraf intercostalis minimal. Pada pembedahan yang letaknya di permukaan (superficial), daearah kepala, leher, extrimitas, dinding thorax dan dinding abdomen rasa nyerinya sangat bervariasi, :
1. Nyeri hebat (severe) 5 – 15 %
2. Nyeri yang sedang (moderate) 30 – 50 % dari penderita.
3. Nyeri yang ringan atau tanpa nyeri : 50%, dimana penderita tidak memerlukan narkotik.
Terdapat pengecualian pada operasi tandur kulit (Skin graft) yang luas dan radical mastectomy, nyeri pasca bedahnya termasuk kategori nyeri yang hebat (severe).
Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah juga sangat dipengaruhi fisik, psikis atau emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah juga mempunyai peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut akan terjadinya penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat setelah pembedahan selesai.
Penderita yang masuk rumah sakit (MRS) akan timbul reaksi cemas/strees. Dan keadaan ini membentuk pra kondisi nyeri pasca bedah. Keadaan tersebut digolongkan “hospital Stress”. Pada golongan penderita dengan Hospitel Strees tinggi cenderung mengalami nyeri lebih hebat daripada golongan Hospitel Strees rendah. Faktor -faktor Hospital Stress :
a. Rasa tidak bersahabat disekelilingnya.
b. Pemisahan dengan keluarga, orang tua, suami/istri.
c. Informasi yang kurang atau tidak jelas.
d. Pengalaman masa lalu tentang penanggulan nyeri yang tidak adekwat.
Faktor lain yang berperan dalam nyeri pasca bedah adalah pengelolaan baik sebelum, sedang dan sesudah pembedahan dan tehnik anestesi yang dilakukan pada penderita.
Pengelolaan profilaksis yaitu pengelolaan penderita pada persiapan pembedahan dan perawatan pasca bedah yang baik. Dari segi anestesi trauma pemasangan pipa endotracheal (intubasi), nyeri otot akibat pemberian succinyi cholin. Dari segi bedah, keterampilan dari ahli bedah, jenis pembedahan (Ekstenip) juga sangat berperan. Mekanisme terjadinya nyeri pasca bedah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya mirip dengan timbulnya luka atau suatu penyakit, yang mengakibatkan kerusakan jaringan lokal dengan disertai keluarnya bahan-bahan yang merangsang rasa nyeri (algogenik subtance) seperti; kalium dan ion Hydrogen, asam laktat, serotonin, bradylinin, prostaglandin. Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya asa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron otak.
Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal sebagai “COX-inhibitor”. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EPI yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia.
Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produki prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainnya seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal.
Timbulnya spasme pada otot-otot tubuh dengan akibat turunnya compliance atau kelenturan dinding Thorax. Keadaan tersebut merupakan lingkaran setan, (nyeri-spasme otot-nyeri). Stimulasi neuron syaraf sympatik mengakibatkan meningkatnya frekwensi jantung dan stroke volume, sehingga kerja jantung (heart work) dan komsumsi oksigen dari jantung bertambah.
Terjadi pengeluaran hormon-hormon katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron. Cortical merangsang nyeri yang diteruskan sampai ke cortex cerbri akan dikenal atau persepsi berupa rasa nyeri dan manifestasinya dapat berupa suatu reaksi kecemasan dan rasa takut.
Komplikasi akibat nyeri pasca bedah juga harus diperhatikan oleh ahli anestesi. Komplikasi tersebut bermacam-macam. Pasca bedah stroke-abdomen ataupun operasi ginjal akan terjadi gangguan radio ventilasi-perfusi di paru-2 (V/O ratio), apabila penderita pasca bedahnya disertai atau mengalami distensi dari abdomen atau dipasang bandage yang ketat (gurita) maka akan terjadi gangguan nafas yang berat.
Rasa nyeri yang bertambah hebat bila penderita batuk, tarik nafas dalam dan adanya bronchospasme berakibat penderita takut akan mengeluarkan dahak ataupun bernafas dalam, akibatnya akan terjadi penurunan kapasitas paru (VC), FRC, dan timbulnya Hypoksemia.
Penurunan VC ± 40% dari pra bedah, dimulai saat 1-4 jam pasca bedah yang dipertahankan s/d 12-24 jam, selanjutnya meningkat pelan-pelan mencapai 60-70% dari kondisi Pra bedah setelah hari ke-7, selanjutnya kembali ke normal setelah beberapa minggu. FRC menurun ± 70% dari pra bedah setelah 24 jam pasca bedah, dan tetap rendah dalam beberapa hari, lalu pelen-pelan kembali ke normal dalam waktu 10 hari.
Terjadinya pengeluaran hormon-hormon katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron juga merupakan komplikasi dari pasca bedah. Hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah naik, tekanan darah naik, kebutuhan oksigen naik.
Tehnik anestesi baik general anestesi maupun regional anestesi, sangat berbeda dari segi pemberian obat-obatan analgetik pasca bedah pada general anestesi ± 5% pasien bedah tidak memerlukan analgesik. Kadang pada regional anestesi lebih disenangi pemakaian obat lokal anestesi yang kerjanya lama (long action ). Tehnik anestesi gabung general anestesi dan regional anestesi terbukti berhasil mengurangi kebutuhan akan narkotik pasca bedahnya.
Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Profilaktik
Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.
2. Terapi Aktif
Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-cara berbagai berikut :
a. Obat sistemik analgesik dan ajuvant
b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat)
c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.
d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture.
e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.

Secara sederhana, analgesik `adalah kelas obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Pereda nyeri yang disebabkan oleh analgesik terjadi baik dengan memblokir sinyal rasa sakit pergi ke otak atau dengan mengganggu otak interpretasi dari sinyal, tanpa menghasilkan anestesi atau kehilangan kesadaran. Pada dasarnya ada dua jenis analgesik: non-narkotika dan narkotika.
Perlu dicatat bahwa beberapa referensi termasuk aspirin dan obat inflamasi non-steroid anti (OAINS) di kelas analgesik, karena mereka memiliki sifat analgesik. Aspirin dan OAINS terutama memiliki efek anti-inflamasi, sebagai lawan yang hanya analgesik.

Non-Narkotika Analgesik (Golongan Salisilat)
Acetyl salicylic acid (Aspirin)
Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan lambung, reaksi hipersentitif.
Acetaminophen adalah yang paling umum digunakan over-the-counter, non-narkotik analgesik. Acetaminophen adalah obat penghilang rasa sakit-populer karena bersifat efektif untuk menghilangkan rasa sakit ringan sampai sedang dan relatif murah. Harus ditekankan bahwa meskipun keselamatan acetaminophen terkait dengan penggunaan yang tepat dari obat (gunakan sesuai dengan petunjuk resep spesifik). Jika acetaminophen tidak digunakan sesuai petunjuk pada label, efek samping yang serius dan berakibat fatal yang mungkin dapat terjadi. Sebagai contoh, mengambil lebih dari 4000 mg / hari atau menggunakannya jangka panjang dapat meningkatkan risiko kerusakan hati. Risiko kerusakan hati dengan penggunaan acetaminophen juga meningkat dengan menelan alkohol. Pastikan Anda membicarakan dengan dokter anda dosis maksimum yang diijinkan acetaminophen dan setiap pedoman lainnya untuk penggunaannya.
Banyak orang tidak menyadari acetaminophen yang ditemukan di lebih dari 600-the-counter obat di atas . Hal ini dapat ditemukan dalam kombinasi dengan bahan aktif lain dalam banyak dingin, sinus, dan obat batuk. Pengaruh kumulatif dari asetaminofen harus diperhatikan jika Anda berbicara beberapa obat yang mengandung acetaminophen.
Acetaminophen perubahan ke metabolit yang dikeluarkan dari tubuh. Dengan mengambil lebih dari dosis maksimum harian yang direkomendasikan acetaminophen, metabolit lebih toksik yang dihasilkan dari bisa dihilangkan.
Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS (Non steroidal anti inflammatory drugs). Cara kerja obat adalah menghambat bahan-bahan Algogenic. Yang termasuk golongan ini adalah :
a. Acetaminophen (Parasetamol)
Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat, tetapi tidak mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari.
Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang sama dan ada yang lebih kuat. Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat.
1) Proprionic acid derivat
a) Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari (Brufen)
b) Ketiprofen (profenid): Dosis 25 – 50 mg, setiap 6 – 8 jam p.o dosis max 300 mg sehari
2. Benzothiazine deriv. : Piroxicain (feldene). Dosis 20 mg setiap 12-24 c`jam.
3. Pyrazole deciv.
a. Phenylbutazone. Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
b. Oxyphenbutazone (Tanderil). Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
4. Fenmates : Mefanamic acid (Ponstan). Dosis 500 mg setiap 6-8 jam

Analgesik Narkotika
Narkotik adalah agens penting dalam penatalaksanaan nyeri pasca-bedah dan dapat diberikan secara continue melalui infusn atau secara intermitten dengan dosis kecil-kecil melalui suntikan dengan interval teratur. Pengobatan nyeri visceral dengan analgesic narkotik sangat efektif, terutama nyeri terus-menerus.
Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi, dan kolik usus atau ginjal. Analgetik narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama-sama dengan atropin, untuk mengontrol sekresi.
Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibandingkan golongan analgetik non-narkotik, sehingga disebut juga analgetik kuat. Golongan ini pada umumnya menimbulkan euphoria sehingga banyak disalahgunakan. Pemberian obat secara terus-menerus menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan, dan efek ini terjadi secara cepat. Penghentian pemberian obat secara tiba-tiba menyebabkan sindrom abstinence atau gejala withdrawal. Sedangkan kelebihan dosis dapat menyebabkan kematian karena terjadi depresi pernapasan.
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek euphoria dan rasa mengantuk.
Keburukan narkotik adalah depresi pernafasan, konstipasi, toleransi, dan ketergantungan bila sering digunakan. Pada orang tertentu, penggunaan narkotik lebih dari beberapa hari saja dapat berakibat ketergantungan psikis dan fisik. Efek halusinogen dan euphoria obat ini adalah factor-faktor yang memudahkan ketergantungan. Alkaloid yang berasal dari opium adalah morfin, codein, papaverine dan noscapin
Ada dua jenis analgesik narkotik: yang opiat dan opioid (turunan opiat). Opiat adalah alkaloid ditemukan dalam opium (cairan putih ekstrak biji muda tanaman poppy). Adalah setiap pengobatan yang mengikat reseptor opioid pada sistem saraf pusat atau gastointestinal. Opioid menurut Wikipedia , ada empat kelas yang luas opioid:
1. Peptida opioid endogen (yang diproduksi di dalam tubuh: endorfin, dynorphins, enkephalins)
2. Alkaloid opium (morfin, kodein, tebain)
3. Semi-sintetik opioid (heroin, oxycodone, xanax, dihydrocodeine, hidromorfon, oxymorphone, nicomorphine)
4. Sepenuhnya sintetik opioid (pethidine atau Demerol, metadon, fentanyl, propoxyphene, pentazocine, buprenorfin, butorphanol, tramadol, dan banyak lagi).
Berdasarkan struktur kimianya, analgetik narkotik dibagi menjadi 4 kelompok.
1. Turunan Morfin
Contoh : morfin, kodein, dan heroin. Kodein memiliki efek analgetik yang lebih rendah daripada morfin, namun mempunyai efek antibatuk yang kuat, dan tidak menyebabkan kecanduan. Sedangkan heroin memiliki efek analgetik dan euphoria yang lebih tinggi daripada morfin, sehingga sering disalahgunakan. Heroin menyebabkan kecanduan dan digolongkan ke dalam obat terlarang.
2. Turunan Meperidin
Contoh : petidin dan loperamid. Petidin mempunyai efek analgetik antara morfin dan kodein, sering digunakan untuk pengobatan kecanduan morfin karena mempunyai efek analgetik seperti morfin namun tidak menyebabkan ketergantungan. Sedangkan loperamid mempunyai efek langsung terhadap otot longitudinal dan sirkular usus, sehingga digunakan sebagai konstipan pada kasus diare akut dan kronis.
3. Turunan Metadon
Contoh : metadon. Metadon mempunyai aktivitas analgetik 2 kali morfin dan 10 kali petidin. Seperti petidin, metadon sering digunakan untuk pengobatan kecanduan morfin karena mempunyai efek analgetik seperti morfin namun tidak menyebabkan ketergantungan.
4. Turunan Lain-lain
Contoh : tramadol. Tramadol merupakan analgetik kuat dengan aktivitas 0,1 – 0,2 kali morfin. Meskipun efeknya melalui reseptor opiat, tramadol tidak menyebabkan depresi pernapasan.

Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan
Golongan opiat
Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-lain.
a. Opioid Intra Muskular
Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna, terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan harus di suntik
b. Opioid Intravena
Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infus
c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid
Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman untuk pasien.
d. Opioid Subligual
Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efik samping depresi nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).
e. Opioid Oral
Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.

1. MORFIN
Morfin adalah derivate paling poten dari opium. Agens ini bekerja pada SSP (system saraf pusat) sebagai depresan, kantuk, depresi pernafasan dan depresi reflex batuk, dan sebagai stimulant SSP, berakibat muntah, miosis, konvulsi. Agens ini merangsang otot polos, berakibat spasme otot gastrointestinal, saluran biliaris, dan saluran kemih. Agens ini mengurangi motilitas usus dan mengakibatkan konstipasi.
Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sebagai berikut :
a. Mudah didapat
b. Murah
c. Pemberiannya mudah dan efektif
Cara pemberian dapat :
a. Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya.
b. Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan a.l : onset obat cepat, hasilnya cepat terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun, sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa nyeri dan efek samping obat.
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam. Kecepatan pemberian (rate) 0,1 mg/menit (6 mg/jam).

a. Kegunaan
Morfin diberikan sebagai pre-medikasi bedah, mengatasi nyeri pasca-bedah, nyeri penyakit terminal seperti kanker, dan MCI. Pada MCI merupakan obat pilihan untuk mengatasi nyerinya. Pemberian per-oral kerjanya selama 4 jam; jadi merupakan obat pilihan untuk mengatasi nyeri pada penyakit terminal.
Pemberiannya harus teratur, bukan hanya bila sakit saja. Resiko adiksi tidak perlu dipertimbangkan, mengingat ini adalah kasus terminal. Karena ada morfin oral, jarang dipakai morfin suntikan.

Dosisnya dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan. Hal-hal penting yang perlu diingat waktu menaikkan dosis adalah :
1) Peningkatan dosis tidak terbatas
2) Dosis harus diberi secara teratur (sekurangnya setiap 4 jam)
3) Obati konstipasi dan nausea sesegera mungkin
4) Adiksi bukan masalah pada kasus demikian
5) Sedasi umumnya bukan masalah setelah beberapa hari terapi, dan
6) Jika terapi oral tidak cocok (mis, muntah, koma, tak dapat menelan), suntikan SC cukup mudah dilakukan di rumah.

b. Reaksi merugikan
Reaksi merugikan yang terpenting adalah depresi pernafasan, mual, muntah dan konstipasi. Dapat timbul hipotensi dan bradikardi. Terutama pada pasien yang sedang minum obat antihipertensi. Terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter. Takar lajak dapat berakibat fatal karena depresi pernafasan.

2. Petidin
Petidin (Meperadin) memiliki sifat mirip morfin namun kurang berakibat konstipasi dan retensi urine, dan tidak memiliki sifat menekan batuk seperti morfin. Kerjanya hanya 2-3 jam, sehingga tidak cocok untuk nyeri yang menahun. Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB intravena.
Untuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan
• Untuk Morphine : 2-3 minggu diencerkan dalam PZ.
• Untuk Petidhine : 20-30 minggu diencerkan dalam PZ.
Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state.
a. Infusi (continuous infusion)
b. Perlu monitoring yang lebih ketat.
c. Bahaya overdosis mudah terjadi.
Rate 1,0 mg/menit (60 mg/jam). Terjadinya analgesi lebih cepat dicapai dan berlangsung dalam 15 – 20 jam. Pethidine mempunyai efek lokal anestesi, dengan akibat menghambat atau blok saraf simpatik, sensorik, motorik.
a. Kegunaan
Kegunaan utama adalah sebagai pra-medikasi sebelum bedah dan mengatasi nyeri pasca-bedah, khususnya bedah abdominal, karena kurang menyebabkan retensi urine dan konstipasi disbanding morfin. Karena tidak mengurangi kekuatan kontraksi uterus, ia banyak dipakai sebagai analgesic obstetrik.
b. Reaksi Merugikan
Reaksi merugikan dari agens ini serupa dengan morfin, dapat berakibat muntah, mulut kering, dan pandangan kabur. Takar jalak dapat berakibat kematian oleh depresi pernafasan.

3. Metadon
Metadon (Physeptone) adalah senyawa mirip morfin dengan sifat mirip morfin, termasuk berpotensi adiksi. Namun agens ini lebih aktif bila diberikan per-oral daripada morfin. Kerjanya lama karenanya dosis lebih cepat 6 jam sekali. Selain sebagai analgesik, akhir-akhir ini banyak dipakai dalam pengobatan kasus kecanduan heroin dan morfin. Adalah sintetik opioid, secara medis digunakan sebagai analgesik, antitussive dan perawatan anti-kecanduan untuk digunakan pada pasien opioid. Efek negatif yg ada diantaranya pilek, menguap, bersin, mual, muntah, diare, demam, berkeringat, kedinginan, nyeri sendi, berpikiran bunuh diri, depresi, gelisah, panik, paranoid dll
Reaksi merugikan dari agens ini termasuk muntah, sedasi dan ketergantungan, namun lebih ringan daripada morfin atau heroin.

TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation)
Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tens dapat dipakai sebagai cara alternatip untuk mengurangi kebutuhan narkotik.
DAFTAR PUSTAKA
Latief, A. Said, dkk. Anestesiology. Jakarta: FKUI. 2009
Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. 1995
Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2002
Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius. 2000
Gainswarna, G Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol I. Jakarta : EGC. 2001
Staff Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
AnestesiSpinal. http://anestesi-fkunram.blogspot.com/2009/02/anestesi spinal.html
Anestesiology. http://www.wikipedia.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar