Selasa, 01 Januari 2013

LAPORAN PENDAHULUAN CVA BLEEDING (STROKE HEMORAGIK)

Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologik yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke meru pakan kelainan fungsi otek yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak. Di seluruh dunia, angka kejadian rata-rata stroke sekitar 180 per 100.000 per tahun (0,2 %) dengan angka prevalensi 500-600 per 100.000 (0,5 %). Pada kenyataannya banyak pasien yang datang ke RS dalam keadaan kesadaran yang menurun (coma). Keadaan seperti ini memerlukan penanganan dan perawatan yang bersifat : umum, khusus, rehabilitasi serta rencana pemulangan kliean. Perawatan umum klien terdiri dari perawatan 6 B dan perawatan fungsi luhur. Tahap rehabilitasi bertujuan mengembangkan fungsi tubuh secara utuh serta mencapai derajat kwalitas seperti sebelum sakit. Mengetahui keadaan tersebut diatas maka peran perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain sangat dibutuhkan baik masa akut, atau sesudahnya. Usaha yang dapat dilaksanakan mencakup pelayanan kesehatan secara menyeluruh, mulai promotif, preventif, kuratif sampai dengan rehabilitasi. CVA BLEEDING (STROKE HEMORAGIK) DEFINISI Gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan aleh karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (beberapa detik) atau secara cepat (beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal diotak yang terganggu (Djunaedi W, 1992). Menurut Hudak dan Gallo dalam bukunya perawatan kritis CVA hemoragik memulai awitan yang mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat cerebrovaskuler desease. ANATOMI DAN FISIOLOGIS OTAK Otak adalah organ tubuh yang kecil, akan tetapi memegang peranan penting, sehingga alat tubuh ini perlu dilindungi dengan kokoh dan disimpan dalam tempurung kepala yang keras. Didalam otak terdapat berjuta-juta sel otak yang terdiri dari neuron dan glia. Tranmisi informasi dalam sel-sel neuron berbentuk impuls listrik. Sel-sel neuron berhubungan melalui celah tipis yang disebut sinap. Jika impuls berlanhsung dalam suatu neuron, sel neuron tersebut akan melepaskan neurotransmiter ke dalam celah sinap. Neurotransmiter ini dapat merangsang atau menghambat impuls dalam sel-sel neuron yang dihubungi. Lapisan luar otak (korteks) mempunyai peran yg sangat canggih, mulai dari mengontrol gerakan, pemrosesan indra, berpikir, berbahasa, merencanakan, mengingat, emosi dan fungsi kognitif lainnya. Terdapat dua belahan (hemisfer) otak kiri dan kanan. Masing – masing hemisfer terdiri dari lobus frontalis, paretalis, temporalis, oksipitalis dan bagian-bagian otak lainnya. Kedua belahan otak tersebut dihubungkan oleh korpus kolosum, yaitu sekumpulan serabut-serabut saraf yang menyampaikan informasi timbal balik antara kedua hemisfer otak. Sel-sel motorik dilobus frontalis mengontrol gerakan-gerakan volunter dari otot-otot tubuh secara menyilang. Jika lobus frontalis kanan mengalami kerusakan, maka dapat terjadi kelumpuhan (hemiplegi) pada sisi kiri, dan sebaliknya. Di lobus frontalis terdapat pula pusat bahasa ekspresif dan fungsi intelektual. Gangguan pada pusat ini mengakibatkan seseorang kesulitan mengespresikan maksud atau keinginannya dengan menggunakan bahasa (afasia motorik), serta mengalami gangguan fungsi intelektual. Sel-sel somatosensorik dilobus parietalis menerima dan memproses sinyal-sinyal sensorik (perasa) dari sisi tubuh kontralateral. Gangguan fungsi otak lobus parietalis kanan dapat mengakibatkan seseorang merasa kesemutan (parestesia), rasa tebal (hiperstesia), hilang rasa atau gangguan-gangguan sensorik lainnya pada sisi tubuh sebelah kiri. Begitu pula sebaliknnya. Sel-sel neuron kortek auditorik dilobus temporalis menerima dan memproses sinyal-sinyal pendengaran dari telinga. Sedangkan daerah proyeksi olfaktorik berhubungan dengan fungsi penghidu. Selain itu di lobus temporalis terdapat pula pusat bahasa perseptif. Gangguan pada pusat bahasa ini dapat mengakibatkan seseorang tidak bisa memahami pembicaraan orang lain ( afasia sensoris ). Sel-sel korteks visual di lobus oksipitalis menerima dan memproses sinyal-sinyal peglihatan dari retina mata. Lesi di lobus oksipitalis mengakibatkan seseorang kehilangan separo lapang pandangan. Otak mendapat darah dari 2 (dua) pembuluh darah besar: karotis ( sirkulasi anterior) dan vertebra ( sirkulasi posterior ). Otak akan berfungsi dengan baik bila peredaran darahke otak berlangsung baik, sehingga O2 dan glokosa sebagai sumber energi otak tetap terjamin. Dua ( 2 ) pembuluh darah besar pada otak tersebut membentuk anastomose pada dasar otak yaitu sirkulasi willisi ( area dimana percabangan arteri basiler dan koratis internal bersatu ). Hampir 20% dari volume darah dalam tubuh berada di otak dan otak menggunakan seperlima dari O2 yang dihirup melaui paru-paru. PATOFISIOLOGI Ada dua bentuk CVA bleeding: 1. Perdarahan intra cerebral Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di daerah putamen, talamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding permbuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid. 2. Perdarahan sub arachnoid Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma paling sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willisi. AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasispasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia danlain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak. PROSES KEPERAWATAN PADA KLIEN STROKE HEMORAGIK PENGKAJIAN 1. Identitas klien Nama : Tn. Hr. Usia : 74 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Alamat : Lasem 86 Surabaya Status perkawinan : Kawin Agama : Kristen Pendidikan : SMA Pekerjaan : Purnawirawan Suku/bangsa : bugis/Indonesia Dx Medis : CVA Bleeding Tgl MRS : 27-5-2001 Tgl Pengkajian : 11-6-2001 Keluhan utama : Klien mengeluh pusing 2. Riwayat Keperawatan 2.1 Riwayat penyakit sebelumnya Klien pernah MRS di RS Bubutan dengan hipertensi (pada usia 50 tahun). Pada tahun 1995 klien MRS dengn stroke sembuh hanya kaki kiri berjalan agak diseret. 2.2 Riwayat penyakit sekarang Sejak hari jum’at tagl 25/5-2001 klien panas mendadak, kemudian muntah lebih kurang 2-3 kali, warna putih berupa riak, pasien mengeluh pusing, dan kemudian sering mengigau. Klien dibawa ke RSUD Dr soetomo dan MRS. 2.3 Riwayat kesehatan keluarga Dalam keluarga klien tidak ada yang menderita kencing manis, menurut keluarga klien anak klien yang ke 4 menderita hipertensi. Genogram tidak terkaji karena klien menderita afasia. 3. Observasi dan pemeriksaan fisik 3.1. Keadaan umum klien : klien tampak lemah, cenderung untuk tidur. 3.2. Tanda-tanda vital : - suhu : 37 C per axilla - Nadi : 88 x/mnt teratur, kuat - Tensi : 150/100x/mnt dilengan kiri, posisi tidur - RR : 20 x/mnt teratur 3.3. Body of sistem a. Pernafasan (B1 : Breathing ) Hidung : kebersihan cukup, tampak terpasang sonde, tidak ada polip Dada : bentuk simetris kanan kiri, tidak ada retraksi otot bantu pernafasan, terdapat ronchi di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan teratur, nafas dangkal. b. Cardiovascular (B2 : Bleeding ) Terdapat ictus cordis di antara ICS IV-V (secara inspeksi), suara jantung normal, Capilarry refill < 3 detik, tidak ada pembesaran vena jugularis, tidak ada oedem. c. Persyarafan (B3 : Brain ) Kesadaran compos mentis, GCS : 4,5,6 kuantitatif. Kepala : bentuk oval, wajah tampak miring ke sisi kanan, Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, gerakan bola mata mampu mengikuti perintah, visus tidak terkaji karena klien biasa menggunakan alat bantu kaca mata. Pendengaran : fungsi agak menurun. Mulut : terdapat kesulitan menelan, mulut kebersihan kurang, terdapat penumpukan ludah dan lendir, bibir tampak kering, terdapat afasia. Leher : tidak terdapat pembesaran pada leher, tidak tampak pembesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk. Persepsi sensoris ( pengecapan tidak terkaji karena klien terpasang sonde, perabaan dingin panas tidak ada kelainan pada ekstremitas kanan ). d. Perkemihan – Eliminasi urine ( B4 : bladder ) Klien terpasang kondom kateter, kebersihan cukup, produksi urin 1950 ml/hari, warna kuning jernih, tidak ada distensi pada vesika urinaria. e. Pencernaan – eliminasi alvi ( B5 : Bowel ) Terdapat gangguan menelan, saat ini klien terpasang sonde, sudah pernah dicoba makan peroral tapi klien belum bisa menelan, Sebelum MRS konsumsi makan hanya setengah porsi, makan 3x/hari, jenis nasi, sayur, lauk, kebiasaan makan pagi, siang, malam. Abdomen : tidak terdapat acites, turgor menurun, peristaltik usus normal, bising usus positif, tidak ada scibala. Rectum : Rectal to see negatif. BAB : Kebiasaan di rumah klien BAB 2 hari sekali, saat ini sudah 3 hari klien belum BAB. f. Tulang – otot – integumen ( B6 : bone ) Kemampuan pergerakan sendi : klien mengeluh kesakitan pada kaki kiri saat dilatih gerak pasif. Kaki kiri droop foot, terdapat kelemahan otot pada ektremitas atas dan bawah sebelah kiri.kekuatan otot.. Kulit : Warna kulit coklat sawo matang, terdapat luka dekubitus pada punggung sebelah kiri, keadaan bersih, lebar + 3cm, agak kering. Turgor menurun, akral kulit hangat. g. Sistem endokrin Klien tidak mempunyai gangguan endokrin. h. Sistem hematopoitik Klien tidak mempunyai riwayat kelainan sistem hematopoitik. i. Reproduksi Klien laki-laki, mempunyai anak 6 laki-lai 4 dan perempuan 2. j. Psikososial Pola persepsi dan konsep diri : sulit dikaji karena klien afasia dan kadang-kadang saat dikaji klien bicara tidak terarah (ngelantur). Sosial/interaksi : Saat interaksi klien nampak kooperatif, dukungan keluarga sangat besar, setiap hari klien ditunggui oleh istrinya dan kadang-kadang bergantian dengan anak dan adik angkatnya. k. Spiritual Menurut keluarga klien klien beragama kristen taat beribadah dan menganggap bahwa penyakit yang diderita klien merupakan cobaan yang harus dihadapi. l. Pemeriksaan penunjang : Rongten : tgl 7-6-2001 - Pulmo : tampak infiltrat interstisiil pada kedua lapangan paru, dengan penebalan peri hiller. - Kesimpulan : Cardiomegalli dengan oedem pulmonum. CTR 62 %. CT scan : Tampak area hiperdens dipara ventrikel lateral kiri. Kesimpulan : ICH paraventrikel lateral kiri IVH dan brain atropi sedang Laborat :tgl 7-6-2001 - leukosit : 25/ ml (+) - protein : 75 mg/dl (+) - DL, Hb : 13,7 gr/dl ( N : 13,4 – 17, 7 gr/dl) - LED : 110 mm/l (N : < 15 ) - Leukosit : 6700 x 10 /dl (N : 4,7 – 10,3) - Trombosit : 176 x 10 /l (N : 150 – 350). m. Terapi Tanggal 11-5-2001 IVFD RL 500 cc/24 jam Cimetidin 1ampul Cefotaxim 2 x 500 mg Lasix 1 amp/hari B1, B6, B12 2xa amp Captopril 3x25 mg ISDN 2x 5 mg HCT ¼ - 0 – 0 Bisolvon 3 x 1 amp - sonde : 6 x 250 cc - fisioterapi ANALISA DATA 1. DS : Klien mengeluh pusing DO : T : 150/100 mm Hg, N : 100 x/mnt. CT scan : ICH periventrikel lateral, IVH dan brain atropi sedang Kemungkinan penyebab : Bertambahnya volume intra kranial akibat dari perdarahan otak Masalah : Tekanan intra kranial 2. DS : Keluarga klien mengungkapkan klien pernah dicoba makan peroral tapi belum bisa. DO : Klien makan menggunakan sonde, Diit cair 6 x 250cc/hari, turgor menurun GCS : 4,5,6, reflek menelan terganggu, BB : 63 Kg, TB : 174 cm, tampak lemah. Kemungkinan penyebab : Kelemahan otot menelan Masalah : Nutrisi 3. DS : Klien berteriak kesakitan saat kaki kiri digerakkan secara pasif DO : Terdapat kelumpuhan pada ektremitas sebelah kiri, tampak lemah ADL dibantu kekuatan otot….. , drop foot Kemungkinan penyebab : Paralisis Masalah : Mobilisasi. 4. DS : Klien mengeluh nyeri kepala DO : Terdapat penurunan rangsang raba,rasa, kecap Bicara ngelantur Tampak marah jika kelelahan Kemungkinan penyebab : Transmisi sekunder terhadap trauma neurologis Masalah : Perubahan persepsi sensoris. 5. DS : - DO : GCS 4,5,6 RR : 20 x/mnt Ronchi : terdapat diseluruh lapangan paru Terdapat produk mukus yang berlebihan pada mulut Terjadi penurunan reflek menelan dan batuk Mulut tampak kotor Ro” : tampak infiltrat interstisiil pada lapangan paru Kemungkinan penyebab : Menurunnya reflek batuk Masalah : Bersihan jalan nafas DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Resiko peningkatan TIK mendadak b.d meningkatnya volume intrakranial 2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kelemahan otot menelan 3. Resiko bersihan jalan nafas tidak efektif b.d menurunnya reflek batuk 4. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan anggota gerak 5. Perubahan persepsi sensorik b.d gangguan transmisi sekunder terhadap trauma neurologis 6. Resiko perubahan eliminasi (konstipasi) b.d menurunnya tonus otot mengejan dan tirah baring. RENCANA TINDAKAN 1. Resiko peningkatan TIK mendadak b.d bertambahnya volume intracranial Tujuan : tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dalam waktu 3x24 jam Kriteria : - Klien tidak gelisah, Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS : 4,5,6, tidak terdapat pupil edema. INTERVENSI : 1. Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab-akibat TIK meningkat. R/ Meningkatkan kerjasama dalam meningkatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan. 2. Pertahankan posisi 30 dan kurangi manipulasi yang berlebihan R/ Dengan posisi 30 mempengaruhi sirkulasi darah otak sehingga dapat menghindari peningkatan TIK 3. Anjurkan klien untuk bedrest total R/Stimulasi yang kontinyu dapat meningkatkan TIK 4. Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver R/ mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK 5. Observasi status neurologi R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokaso dan perkembangan penyakit 6. Obsevasi tanda vital tiap 4 jam R/ adanya peningkatan tensi, bradicardi dysritmia, dyspneu merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK 7. Kolaborasi : - pemberian O2 sesuai indikasi R/ hipoksia menyebabkan vasodelatasi cerebral dan meningkatkan terbentuknya edema serebri. 2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kelemahan otot menelan Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 7x24 jam Kriteria : Turgor baik, intake dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, BB meningkat 1kg. INTERVENSI : 1. Observasi texture, turgor kulit R/ mengetahui status nutrisi klien 2. lakukan oral hygiene R/ kebersihan mulut merangsang nafsu makan 3. observasi intake out put R/ mengetahui keseimbangan nutrisi klien 4. observasi posisi dan keberhasilan sonde R/ untuk menghundari resiko infeksi / iritasi 5. Kolaborasi: - pemberian diet / sonde sesuai jadual R/ membantu memenuhi kebutuhan nutrisi klien karena klien terjadi penurunan reflek menelan. 3. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan anggota gerak Tujuan : kerusakan mobilitas fisik dapat membaik selama dalam perawatan Kriteria : Klien mampu menggerakkan extremitas kiri secara minimal, tidak terjadi kontraktur sendi, klien mampu mempertahankan posisi seoptimal mungkin INTERVENSI: 1. koreksi tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0 – 4 R/ memantau tingkat ketergantungan klien serta mengobservasi fungsi sensorik – motorik 2. pertahan posisi klien dalam letak anatomis dengan memberi ganjal bantal sewaktu posisi miring R/ mencegah terjadinya kontraktur 3. jelaskan pada klien tentang mobilisasi pasif 4. lakukan mobilisasi pasif pada kedua extremitas R/ mengurangi atropi otot, meningkatkan sirkulasi, mencegah kontraktur 5. ubah posisi dengan mengangkat sisi yang tidak berfungsi R/ merangsang perfusi pada sisi yang lumpuh 6. lakukan masage, kompres hangat, perawatan kulit. R/ merangsang vasodilatasi untuk memperlancar peredaran darah 7. kolaborasi - pertahankan terpai B1 R/ merangsang pertumbuhan otot dan sel - dengan fisioterapi R/ untuk menentukan program yang ideal menuju pemulihan 4. Resiko bersihan jalan napas tidak efektif b.d menurunnya reflek batuk Tujuan : tidak terjadi gangguan pada bersihan jalan napasklien dalam waktu 7 x 24 jam Kriteria: RR teratur, tidak ada stridor, ronchi, whezing, RR: 16 – 20 x / mnt, reflek batuk klien ada. INTERVENSI: 1. observasi kecepatan, kedalaman dan suara napas klien R/ kecepatan pernapasan menunjukkan adanya upaya tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 2. lakukan suction dengan ekstra hati-hati bila terdengar stridor R/reflek batuk yang menurun menyebabkan hambatan pengeluaran sekret 3. pertahankan posisi ½ duduk , tidak menekan ke salah satu sisi R/ ventilasi lebih mudah bila posisi kepala dalam posisi netral, penekanan ke satu titik menyebabkan peningkatan TIK. 4. lakukan chest fisioterapi R/ claping dan vibrating merangsang cilia bronkus untuk mengeluarkan sekret 5. jelaskan pada keluarga tentang perubahan posisi tiap 2 jam sekali DAFTAR PUSTAKA Ali, Wendra (1999). Petunjuk Praktis Rehabilitasi Penderita Stroke, Bagian Neurologi FKUI /RSCM,UCB Pharma Indonesia, Jakarta. Brunner / Suddarth., (1984). Medical Surgical Nursing. JB Lippincot Company, Philadelphia. Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8, EGC, Jakarta. Depkes RI. (1996). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Diknakes, Jakarta. Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta. Donnad. (1991). Medical Surgical Nursing. WB Saunders. Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3, EGC, Jakarta. Harsono. (1996). Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Harsono. (2000). Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hudak C.M.,Gallo B.M. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta. Ignatavicius D.D., Bayne M.V. (1991). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia. Ignatavicius D.D., Workman M.L., Mishler M.A. (1995). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach. 2nd edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia. Islam, Mohammad Saiful. (1998). Stroke : Diagnosis Dan Penatalaksanaannya. Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Juwono, T. (1996). Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. EGC, Jakarta. Lismidar, (1990). Proses Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta. Mardjono M., Sidharta P. (1981). Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat, Jakarta. Price S.A., Wilson L.M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta. Rochani, Siti. (2000). Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah Saraf Indonesia. Surabaya. Satyanegara. (1998). Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Susilo, Hendro. (2000). Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke, Suatu Pendekatan Baru Millenium III. Bangkalan. Widjaja, Linardi. (1993). Patofisiologi dan Penatalaksanaan Stroke. Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

A. PENGERTIAN Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.( Brunner and Suddarth, 2001) Fraktur dapat dibagi menjadi dua : 1. Fraktur tertutup (closed), tidak menyebabkan robeknya kulit. 2. Fraktur terbuka (Open) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai kepatahan tulang. B. ETIOLOGI Penyebab fraktur dapat bermacam-macam meliputi : 1. Dorongan langsung pada tulang. 2. Fraktur spontan karena kondisi patologi yang mendasarinya. 3. Kontraksi otot yang kuat dan tiba-tiba. 4. Dorongan tidak langsung misalnya : terpukul benda, terbang dari jarak jauh. 5. Kontraksi otot ekstrim. (Arif Mansyur, 2000) C. PATOFISIOLOGI Jenis fraktur yang umum terjadi pada anak kurang dari 5 tahun adalah fraktur greenstick, fraktur ini terdapat retakan kompleks pada kontuinitas tulang yang terjadi karena tulangnya lebih lunak dan lebih luntur dari tulang anak yang lebih besar, fraktur lain dengan lokasi terkait adalah episis atas dan supra barbital, fraktur humerus, lateral, fraktur pada batang radius dan ulna, fraktur pada batang femur, tibia (ekstremitas bawah) D. KLASIFIKASI FRAKTUR 1. Fraktur multipel pada satu tulang Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya. 2. Fraktur inpaksi Fraktur kompresi terjadi ketika 2 tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya seperti: 1 vertebra dengan 2 vertebra lainnya. 3. Fraktur patologik Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainnya. 4. Fraktur beban lainnya Fraktur beban terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, baru diterima untuk berlatih dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru memulai latihan lari. 5. Fraktur greenstick Fraktur greenstick adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. 6. Fraktur avulsi Fraktur avulsi memisahkan satu fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun ligamen. 7. Fraktur sendi Catatan khusus harus dibuat untuk fraktur yang melibatkan sendi, terutama apabila geometri sendi terganggu secara bermakna. ( Sylvia A. Price,1995) E. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis fraktur adalah : 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur bagian-bagian tak dapat digunakan cederung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa). Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. 3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. 4. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang menutupi fraktur. 5. Krepitus ( Suzanne, 2001) F. KOMPLIKASI 1. Compacment sindrom. 2. Shock 3. Tromboemboli. 4. Nekrosis. 5. Malunion. 6. Delayed union dan nonunion. G. PENATALAKSANAN KEDARURATAN 1. Mengimobilisasi tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disanggah diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi. 2. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi disekitar fraktur. 3. Daerah yang cidera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. 4. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. 5. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap, pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cidera. H. PRINSIP PENANGANAN FRAKTUR Prinsip penangan fraktur: 1. Reduksi fraktur Reduksi fraktur atau setting tulang berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaingan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Sebelum reduksi dan immobilasasi fraktur pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, dan analgetik diberikan sesuai ketentuan mungkin perlu dilakukan anastesi ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. 2. Reduksi tertutup Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya ( ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dengan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar. 3. Reduksi terbuka Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. 4. Traksi Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek dan reduksi immobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan akrosinasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kallus pada sinar x. ketika kallus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan immobilisasi. 5. Immobilisasi fraktur Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimmobilasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi internal dan eksternal. Metode fiksasi eksternal meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 6. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan immobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disues dan meningkatkan peredaran darah ( Brunner & Suddarth, 2001) I. PERAWATAN PASIEN FRAKTUR TERTUTUP Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin memerlukan waktu sampai berbulan-bulan. Pasien diajari bagaimana mengontrol pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan trauma jaringan lunak. Tirah baring diusahakan seminimal mungkin. Latihan segera dimulai untuk mempertahankan kesehatan otot yang sehat untuk meningkatkan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan dan untuk menggunakan alat bantu (misalnya : tongkat, walker). ( Brunner & Suddarth, 2001) J. PERAWATAN PASIEN FRAKTUR TERBUKA Pada fraktur terbuka terdapat resiko infeksi. Tujuan penanganan adalah meminimalkan resiko infeksi. Pasien dibawah ke ruang operasi dimanan luka dibersihkan . Dilakukan usapan luka untuk biakan dan kepekaan. Mungkin perlu dilakukan draft tulang untuk menjembatani defek, namun harus yakin bahwa jaringan resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi penyatuan. Ekstremitas ditinggikan untuk meminimalkan terjadinya edema. K. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksana sinar x pada tempat cidera. 2. Hitung darah lengkap. L. FASE PENYEMBUHAN Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak,periosteum terpisah dari tulang dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi dimana sel-sel pembentuk tulang premitif berdeferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mengsekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuknya lapisan tebal disekitar lokasi fraktur akan menebal dan meluas, dan bertemu dengan lapisan kallus dari fragmen satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblast, yang melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur. Persatuan (union) tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kallus tulang akan mengalami re-modelling dimana osteoblast akan membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya.( Sylvia A.Price, 1995) M. PROSES KEPERAWATAN 1. Pengkajian Yang perlu dikaji meliputi ; a. Kaji tingkat nyeri b. Kaji penyebaran nyeri c. Kaji perlunya menghilangkan nyeri d. Kaji adanya tanda dan gejala infeksi e. Kaji penyembuhan luka f. Kaji adanya iritasi pada kulit g. Kaji tanda dan gejala komplikasi 2. Diagnosa Keperawatan a. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan terputusnya kontuinitas tulang. b. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontuinitas jaringan, spasme otot, gerakan fragmen tulang. c. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya media invasi kuman. d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka e. ADL tidak terpenuhi berhubungan dengan nyeri pada saat bergerak f. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakitnya 3. Intervensi a. NDX 1 : Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan terputusnya kontuinitas tulang. Tujuan : Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur Intervensi  Pertahankan tirah baring, sesuai indikasi Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/penyembuhan.  Sokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut Rasional : Mencegah gerakan yang tidak perlu dan perubahan posisi.  Tugaskan petugas yang cukup untuk membalik pasien. Hindari menggunakan papan abdukasi untuk membalik pasien dengan gips Rasional : Gips panggul/tubuh atau multipel dapat membuat berat dan tidak praktis secara ekstrem. Kegagalan untuk menyokong ekstremitas yang di gips dapat menyebabkan gips patah.  Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema Rasional : Pembebat mungkin digunakan untuk memberikan immobilisasi fraktur dimana pembengkakan jaringan berlebihan. b. NDX 2 : Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang. Tujuan : Nyeri hilang atau nyeri teratasi Intervensi  Kaji tingkat nyeri Rasional : Untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien.  Kaji jenis dan lokasi nyeri Rasional : Nyeri tekan mungkin akan dirasakan pada fraktur dan kerusakan jaringan lunak, spasmme otot terjadi sebagai respon terhadap cedera dan immobilisasi  Kaji ketidaknyamanan pasien Rasional : Nyeri merupakan dasar bagi perencanaan intervensi keperawatan  Ajarkan teknik relaksasi Rasional : Untuk mengurangi nyeri yang dirasakan klien  Melakukan perubahan posisi dengan perlahan Rasional : Mengurangi spasme otot  Berikan informasi tentang penyakit klien Rasional : Agar klien tahu tentang penyakit yang diderita  Kolaborasi pemberian obat analgetik Rasional : Untuk menurunkan nyeri atau spasme otot c. NDX 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan adanya media invasi kuman. Tujuan : Tidak ada tanda-tanda infeksi Intervensi  Kaji adanya tanda-tanda infeksi Rasional : Untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi  Berikan perawatan secara steril Rasional : Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi  Tutupi pada akhir gips peritoneal dengan plastik Rasional : Gips yang lembab, padat, dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri  Kolaborasi pemberian obat antibiotik Rasional : Untuk mencegah timbulnya infeksi d. NDX 4 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka Tujuan : Untuk mencegah kerusakan kulit/ memudahkan penyembuhan sesuai indikasi Intervensi - Kaji kulit untuk luka terbuka Rasional : Memberikan informasi tentag sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat atau pemasangan gips. - Masase kulit dan penonjolan tulang Rasional : Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi atau kerusakan kulit - Bersihkan kulit dengan air. Gosok perlahan dengan alkohol atau bedak sedikit Rasional : Terlalu banyak bedak dapat membuat lengket bila kontak dengan air atau keringat. - Tingkatkan pengeringan gips dengan mengangkat linen tempat tidur Rasional : Mencegah kerusakan kulit yang disebabkan oleh tertutup pada kelembaban di bawah gips dalam jangka lama. - Observasi untuk potensial area yang tertekan Rasional : Tekanan dapat menyebabkan ulserasi, nekrosis dan kelumpuhan saraf e. NDX 5 : ADL tidak terpenuhi berhubungan dengan nyeri pada saat bergerak Tujuan : Klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya Intervensi - Kaji tingkat ketidakmampuan klien melaksanakan aktivitas sehari-hari Rasional : Untuk mengetahui sejauhmana ketidakmampuan klien dalam memenuhi ADL nya - Bantu klien dalam pemenuhan ADL Rasional : Agar kebutuhan sehari-hari klien dapat terpenuhi - Anjurkan klien untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya secara mandiri Rasional : Agar klien mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. f. NDX 6 : Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakitnya Tujuan : Klien mengerti tentang penyakitnya Intervensi - Kaji tingkat kecemasan klien Rasional : Untuk mengukur sejauhmana tingkat kecemasan klien - Kaji tingkat pengetahuan klien Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakitnya - Berikan informasi tentang penyakit klien Rasional : Agar klien mengerti dan tahu tentang penyakitnya - Akui kenyataan/normalitas perasaan, termasuk marah Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu pasien melalui penilaian awal juga selama pemulihan. - Dorong menggunakan manajemen stress contoh : napas dalam Rasional : Membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.( Marilyn .E. Doengoes,2002) 4. Evaluasi a. Pasien secara aktif berpartisipasi dalam dalam program terapi. - Meninggikan ekstremitas yang terkena. - Berlatih sesuai instruksi - Menjaga gips tetap kering - Melaporkan setiap masalah yang timbul. b. Melaporkan berkurangnya nyeri - Meninggikan ekstremitas yang digips - Mereposisi sendiri - Menggunakan analgetik oral bila perlu. c. Memperlihatkan peningkatan kemampuan mobilitas - Mempergunakan alat bantu yang aman - Berlatih untuk meningkatkan kekuatan - Mengubah posisi sesering mungkin d. Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri. - Melakukan aktivitas hygiene dan kerapihan secara mandiri. e. Makan sendiri atau dengan bantuan minim - Tidak memperlihatkan tanda dan gejala infeksi - Memperlihatkan kulit yang utuh saat gips dibuka f. Tidak memperlihatkan adanya komplikasi - Tidak terjadi ulkus akibat tekanan - Memperlihatkan pengecilan otot minimal.(Brunner & Suddarth, 2001)

LAPORAN PENDAHULUAN NON HEMORAGIK STROKE

A. KONSEP MEDIS 1. Pengertian Non Hemorhagic stroke adalah: Stroke yang terjadi tanpa pendarahan. Hal ini disebabkan oleh adanya okulasi (sumbatan) pembuluh darah diotak thrombus atau emboli yang berkaitan dengan otak hipoksia dan anoksia secara iskemik jaringan otak. Definisi WHO : Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik local maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskuler. Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. 2. Macam-macam stroke a. NHS (Non Hemoragik Stroke) adalah : Stroke yang terjadi tanpa pendarahan. Hal ini disebabkan oleh adanya okulasi (sumbatan) pembuluh darah diotak thrombus atau emboli yang berkaitan dengan otak hipoksia dan anoksia secara iskemik jaringan otak. b. HS (Hemoragic stroke) adalah : apabila suatu pembuluh darah diotak pecah sehingga timbul iskemia (pengurangan cairan) darah hipoksia diselah hilir. 3. Etiologi a. Trombosis → Iskemi jaringan otak serta udema dan bendungan sekitar thrombus → muncul pada saat Klien sedang tidur / istirahat b. Emboli → dapat berupa serpihan – serpihan darah yang beku, tumor, lemak / udara c. Pendarahan Intraserebral → rupture dinding pembuluh darah serebral → perdarahan pada jaringan otak → akibat Atherosklerosis & Hipertensi pada Klien > 50 thn. d. Kompresi pembuluh darah otak → disebabkan karena tumor, bekuan darah yang besar dan sebagainya. 4. Faktor Resiko a. Hipertensi, kolesterol tinggi dan obesitas. b. Penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongesif, hipertrofi ventrikel kiri, abnormalitas irama (khusus fibrilasi atrium), penyakit jantung kongestif dapat menyebabkan embolisme serebral. c. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral d. Diabetes dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi e. Kontrasepsi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok dan kadar esterogen tinggi). f. Merokok, penyalahgunaan obat (khususnya kokain) dan konsumsi alkohol. 5. Manifestasi Klinik Gejala – gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-gejala itu antara lain bersifat:: a. Sementara Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap. b. Sementara,namun lebih dari 24 jam, Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND). c. Gejala makin lama makin berat (progresif) Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution. d. Sudah menetap/permanen. 6. Komplikasi a. Hipoksia serebral Fungsi otak tergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirim ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan. b. Aliran darah serebral Bergantung pada tekanan darah, curah jantung dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral, hipertensi atau hipotensi eksterm perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera. 7. Pemeriksaan Diagnostik a. LAB :  ↑ Hb & Ht terkait dengan stroke berat  ↑ WBC indikasi adanya infeksi → Endokarditis bakterialis  Analisa CSF (merah) → Perdarahan SubArachnoid b. CT Scan untuk Mengetahui lokasi perdarahan, infark & bekuan darah di daerah sub arachnoid c. EKG untuk T invertil, ST depresi dan QT elevasi dan memanjang d. Angiografi Serebral : Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik, seperti perdarahan atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau rupture e. Pungsi Lumbal : Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli serebral dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengadung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid dan perdartahan intra cranial f. MRI : Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoraghik, malformasi arteriovena (MVA) g. Ultrasonografi Doppler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri karotis, arteriosklerotik) h. EEG : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik i. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal darah yang berlawanan dari massa yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral ; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid. 8. Penatalaksanaan Medis a. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral. b. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi. c. Penggunaan vasodilator dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan aliran darah otak dengan menurunkan tekanan darah sistemik dan menurunkan aliran darah anastomosis intra serebral. d. Antikoagulasi dapat diberikan melalui intavena dan oral, namun pemberiannya harus dipantau secara terus menerus untuk mencegah overdosis obat sehingga mengakibatkan meningkatnya resiko perdarahan intra serebral. e. Jika klien mengalami sakit kepala dan nyeri pada leher biasanya diberikan obat analgesic ringan, sejenis codein dan acetaminophen. Sering dihindari pemberian obat narkotik yang kuat, karena dapat menenangkan klien dan menyebabkan pengkajian tidak akurat. f. Jika klien mengalami kejang, berikan obat phenytoin (dilantin) atau phenobarbaital. Hindari pemberian obat jenis barbiturate dan sedative lainnya. Jika klien demam berikan obat antipiretik. 9. Pencegahan  Upaya pencegahan yaitu : a. Pencegahan primer Ditujukan terutama pada orang yang beresiko tinggi untuk terkena penyakit stroke, seperti : 1. Gaya Hidup: reduksi stres, makan erndah garam, lemak dan kalori, jangan merokok, dan vitamin. 2. Lingkungan: kesadaran atas stres kerja. 3. Biologi: Perhatian terhadap faktor resiko biologis (jenis kelamin, riwayat keluarga). 4. Pelayanan kesehatan: Health education dan pemeriksaan tekanan darah. b. Pencegahan sekunder  Ditujukan pada orang yang pernah mendapat serangan stroke dan ingin menghindari serangan berikutnya yaitu : 1. Gaya hidup: Management stres, makanan rendah garam, dan penyesuaian gaya hidup. 2. Lingkungan: Penggantian kerja bila diperlukan, family conceling. 3. Biologi: Pengobatan yang patuh dan cegah efek samping. 4. Pelayanan kesehatan: Pendidikan pasien dan evaluasi penyebab sekunder. c. Pencegahan tersier Proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atau usaha mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai kemampuan yang ada padanya, yaitu : 1. Gaya hidup: reduksi stres, sexercise sedang, behenti merokok. 2. Ligkungan : Jaga keamanan dan keselamatan dan family support. 3. Biologi: Kepatuhan berobat, terapi fisik dan speach therapi. 4. Pelayanan kesehatan: Emergency medical technic. B. KONSEP KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data yang dikumpulkan akan bergantung pada letak, keparahan, dan durasi patologi: a. AKTIVITAS / ISTIRAHAT 1. Gejala :  Merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis (hemiplegia).  Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri / kejang otot) 2. Tanda :  Gangguan tonus otot (flaksid, spastis); paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum.  Gangguan penglihatan, Gangguan tingkat kesadaran. b. Sirkulasi 1. Gejala :  Adanya penyakit jantung (MI, rheumatic/penyakit jantung vaskuler.  GJK, endokarditis bacterial), polisitemia, riwayat hipertensi postural 2. Tanda :  Hipertensi arterial (dapat ditemukan/ terjadi pada stroke) sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi vaskuler.  Nadi : Frekuensi dapat bervariasi (karena ketidakstabilan fungsi jantung / kondisi jantung, obat-obatan, efek stroke pada pusat vasomotor).  Disritmia, perubahan EKG.  Desiran pada karotis, femoralis dan arteri iliaka / aorta yang abnormal. c. Integritas Ego 1. Gejala : Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa 2. Tanda : Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira d. Eliminasi 1. Gejala  Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria  Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus negatif (ileus paralitik). e. Makanan atan Cairan 1. Gejala:  Nafsu makan hilang  Mual muntah selama fase akut (peningkatan TIK)  Kehilangan sensasi (rasa kecap ) pada lidah, pipi dan tenggorok, disfagia  Adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah 2. Tanda :  Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal). Obesitas (faktor resiko) f. Neurosensori 1. Gejala  Sinkope/pusing (sebelum serangan CSV / selama TIA)  Sakit kepala ; akan sangat berat dengan adanya perdarahan intraserebral atau subarachnoid  Kelemahan / kesemutan / kebas  Penglihatan menurun, seperti buta total, diplopia, kehilangan daya lihat sebagian  Sentuhan : hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas dan kadang-kadang ipsilateral (yang satu sisi) pada wajah  Gangguan rasa pengecapan dan penciuman. 2. Tanda  Status mental / tingkat kesadaran : biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragis; gangguan tingkah laku (letargi, apatis, menyerang); gangguan fungsi kognitif (penurunan memori, pemecahan masalah).  Ekstremitas: kelemahan, paralysis, genggaman tidak sama, refleks tendon melemah secara kontralateral  Pada wajah terjadi paralysis ata parese (ipsilateral)  Afasia : gangguan atau kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia motorik, reseptif (afasia sensorik)  Kehilangan kemampuan untuk mengenali / menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran, taktil, gannguan persepsi  Ukuran / reaksi pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral  Kekakuan nukal (karena perdarahan), kejang (karena adanya pencetus perdarahan. g. Nyeri 1. Gejala : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri karotis terkena) 2. Tanda: Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot / fasia. h. Pernapasan 1. Gejala  Merokok (factor resiko) 2. Ketidakmampuan menelan / batuk/ hambatan jalan napas  Timbulnya pernapasan sulit / tak teratur  Suara napas terdengar / ronkhi (aspirasi sekresi). 2. Diagnose Keperawatan Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul :  Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragi  Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuscular: kelemahan, parastesia; flaksid / paralysis hipotonik (awal) ; paralysis spastic  Kerusakan komunikasi verbal dan nonverbal berhubungan dengankerusakan sirkulasi serebral; kerusakan neuromuscular, kehilangan tonus / kontrol otot fasial / oral; kelemahan / kelelahan umum  Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologist atau deficit), stress psikologis.  Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan control / koordinasi otot  Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perceptual kognitif  Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuscular/ perceptual  Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi, kurang mengingat. 3. Intervensi Keperawatan a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragi Tujuan : Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat Intervensi:  Tentukan faktor –faktor yang berhubungan dengan keadaan / penyebab khusus selama koma / penurunana perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK R/ : Mempengaruhi penetapan intervensi  Pantau / catat status neurologist sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya / standar R/ : Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan / resolusi peningkatan kerusakan SSP  Pantau tanda – tanda vital R/ ; Variasi mungkin terjadi karena tekanan/ trauma serebral pada daerah vasomotor otak  Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) dan berguna dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik  Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi pengunjung / aktivitas pasien sesuai indikasi R/ : Aktivitas / stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK  Berikan oksigen sesuai indikasi R/ : Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat / terbentuknya edema. b. Gangguan mobilitas fisik behubungan dengan keterlibatan neuromuscular; kelemahan, parestesia; flaksid / paralysis hipotonik (awal); paralysis spastis Tujuan : Mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena atau kompensasi Intervensi :  Kaji kemampuan secara fungsional / luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. R/ : Mengidentifikasi kekuatan / kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan  Ubah posisi minimal setiap 2 jam R/ : Menurunkan resiko terjadinya trauma / iskemia jaringan  Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas saat masuk R/ : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur  Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi pasien R/ : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti / menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan. c. Kerusakan Komunikasi verbal dan / atau nonverbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral; kerusakan neuromuscular, kehilangan tonus/ kontrol otot fasial/ oral; kelemahan / kelelahan umum. Tujuan : mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi Intervensi :  Kaji tipe / derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri R/ : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi  Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “ buka mata”, “ tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata / kalimat sederhana R/ : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik)  Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis, gambar R/ : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan / deficit yang mendasarinya  Konsultasikan dengan / rujuk kepada ahli terapi wicara R/ : Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan terapi. d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologist atau deficit), stress psikologis. Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual. Intervensi :  LIhat kembali prosedur patologis kondisi individual R/ : Kesadaran akan tipe/ daerah yang terkena membantu dalam mengkaji deficit spesifik dan perawatan  Evaluasi adanya gangguan penglihatan R/ : Munculnya gangguan penglihatan dapat berdampak negative terhadap kemampuan pasien untuk menerima lingkungan dan mempelajari kembali keterampilan motorik dan meningkatkan resiko terjadinya cedera.  Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan R/ : Membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin dapat menimbulkan kebingungan terhadap interpretasi lingkungan, munurunkan resiko terjadinya kecelakaan  Hilangkan kebisingan / stimulasi eksternal yang berlebihan sesuai kebutuhan R/ Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan / kebingungan yang berhubungan dengan sensori berlebihan. e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, nyeri/ ketidaknyamanan Tujuan : Melakukan aktivitas perawatan diri dengan tingkat kemampuan sendiri Intervensi :  Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari R/ : Membantu dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan secara individual  Berikan umpan bali yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan R/ : Meningkatkan perasaan makna diri  Identifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan kembalikan pada kebiasaan pola normal tersebut R/ : Mengkaji perkembangan program latihan dan membantu dalam pencegahan konstipasi dan sembelit  Kolaborasi pemberian obat suppositoria dan pelunak feses R/: Mungkin dibutuhkan pada awal untuk membantu menciptakan / merangsang fungsi defekasi teratur. f. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial Tujuan : Mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi Intervensi :  Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya R/: Penentuan factor –faktor secara individu membantu dalam mengembangkan perencanaan asuhan/pilihan intervensi  Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan peasaan marah R/: Mendemonstrasikan penerimaan / menbantu pasien untuk mengenal dan mulai memahami perasaan  Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik R/: Membantu peningkatan harga diri dan control atas salah satu bagian kehidupan. g. Resiko tinggi terhadap gangguan menelan Tujuan :Mermpertahankan berat badan yang tepat Intervensi :  Tinjau ulang kemampuan menelan pasien secara individual R/ : Intervensi nutrisi / pilihan rute makan ditentukan oleh factor-faktor tersebut  Mulai untuk memberikan makanan per oral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat menelan air R/: Makanan lunak / cairan kental lebih mudah untuk mengendalikan ke dalam mulut, menurunkan resiko terjadina aspirasi  Pertahankan masukan dan haluaran dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk R/: Jika usaha menelan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan makanan harus dicarikan metode alternative untuk makan  Kolaborasi pemberian cairan melalui IV atau makanan melalui selang R/: Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu dalam mulut. h. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi, kurang mengingat. Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi / prognosis dan aturan terapeutik. Intervensi :  Evaluasi tipe / derajat dari gangguan persepsi sensori R/: Defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isi / kompleksitas instruksi  Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri R/ : Berbagai tingkat bantuan mungkin diperlukan / perlu direncanakan berdasarkan pada kebutuhan secara individual.  Identifikasi faktor-faktor resiko secara individual R/: Meningkatkan kesehatan secara umum dan mungkin menurunkan resiko kambuh.  Tinjau ulang / pertegas kembali pengobatan yang diberikan R/ : Aktivitas yang dianjurkan , pembatasan dan kebutuhan obat/ terapi dibuat pada dasar pendekatan interdisiplin terkoordinasi.   DAFTAR PUSTAKA Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996. Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993. Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996 . Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC, 2002. Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000. Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996.

LAPORAN PENDAHULUAN DISPEPSIA

A. Konsep Medis 1. Pengertian Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagu klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung. 2. Anatomi dan Fisiologi a. Anatomi Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J, dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan yang masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi makanan masuk kedalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isis usus halus kedalam lambung. Lambung terdiri dari empat lapisan yaitu : 1. lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa. 2. Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapisan : a. Serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan otot esophagus. b. Serabut sirkuler yang palig tebal dan terletak di pylorus serta membentuk otot sfingter, yang berada dibawah lapisan pertama. c. Serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambunh dan berjalan dari orivisium kardiak, kemudian membelok kebawah melalui kurva tura minor (lengkung kelenjar). 3. Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfe. Lapisan mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan/ rugae, yang menghilang bila organ itu mengembang karena berisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus dan pada hampir selurus korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tipe-tipe utama sel. Sel-sel zimognik atau chief cells mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal mensekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B 12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan dileher fundus atau kelenjar-kelenjar gastrik. Sel-sel ini mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada pylorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium, kalium, dan klorida. Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Pengetahuan tentang anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati tukak duodenum. Persarafan simpatis adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus (auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung. Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena porta. b. Fisiologi Fisiologi Lambung : 1. Mencerna makanan secara mekanikal. 2. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponene utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi langsung masuk kedalam aliran darah. 3. Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali protein dirobah menjadi polipeptida 4. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol, glukosa, dan beberapa obat. 5. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam lambung oleh HCL. 6. Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam lambung) kedalam duodenum. Pada saat chyme siap masuk kedalam duodenum, akan terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus. 2. Etiologi a. Perubahan pola makan b. Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yang lama c. Alkohol dan nikotin rokok d. Stres e. Tumor atau kanker saluran pencernaan 3. Manifestasi Klinik a. nyeri perut (abdominal discomfort) b. Rasa perih di ulu hati c. Mual, kadang-kadang sampai muntah d. Nafsu makan berkurang e. Rasa lekas kenyang f. Perut kembung g. Rasa panas di dada dan perut h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba) 4. Patofisiologi Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan. 5. Pencegahan Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung. 6. Penatalaksanaan Medik a. Penatalaksanaan non farmakologis 1) Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung 2) Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres 3) Atur pola makan b. Penatalaksanaan farmakologis yaitu: Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap placebo. Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung) golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah) Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: a. Antasid 20-150 ml/hari Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. b. Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. c. Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. d. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. e. Sitoprotektif Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). f. Golongan Prokinetik Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) g. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi 7. Test Diagnostik Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan lain-lain. a. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabets mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium dalam batas normal. b. Radiologis Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. c. Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi) Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik. d. USG (ultrasonografi) Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan e. Waktu Pengosongan Lambung Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 – B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang dilakukan yaitu : Mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa data. Data fokus yang berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri perut, rasa pedih di ulu hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan berkurang, rasa lekas kenyang, perut kembung, rasa panas di dada dan perut, regurgitasi (keluar cairan dari lambung secar tiba-tiba). (Mansjoer A, 2000, Hal. 488). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain, perasaan panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa keluhan lainnya (Warpadji Sarwono, et all, 1996, hal. 26) 2. Dampak Dispepsia Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia 3. Diagnosa Keperawatan Menurut Inayah (2004) bahwa diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien dengan dispepsia. a. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung. b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak enak setelah makan, anoreksia. c. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan adanya mual, muntah d. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatannya DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC Inayah Iin, 2004, Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan, edisi pertama, Jakarta, Salemba Medika. Manjoer, A, et al, 2000, Kapita selekta kedokteran, edisi 3, Jakarta, Medika aeusculapeus Doengoes. E. M, et al, 2000, Rencana asuhan keperawatan, edisi 3 Jakarta, EGC Price & Wilson, 1994, Patofisiologi, edisi 4, Jakarta, EGC Warpadji Sarwono, et al, 1996, Ilmu penyakit dalam, Jakarta, FKUI PENYIMPANGAN KDM Sekresi asam lambung meningkat Gangguan motilitas saluran cerna Infeksi Factor stress Resistensi mukosa dan daya cerna lambung Tidak seimbang D I S P E P S I A Membrane mokosa lambung oedema dan hiperemik Peruban status kesehatan Erosi superficial lambung Ketidak tahuan Sekresi getah lambung makin meningkat Kurang informasi NYERI Ulserasi superficial Stressor meningkat Hemorargie Intervensi bedah Ketidaknyamanan Kecemasan o Mual o Muntah Nutrisi < kebutuhan o Anoreksia o Diare kekurangan volume cairan

LAPORAN PENDAHULUAN CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )

A. KONSEP MEDIS 1. Pengertian Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812). Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease ( CKD ), pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat ( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF. 2. Etiologi a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis c. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal e. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra. h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis. 3. Patofisiologi Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368). Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448). 4. Klasifikasi a. Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :  Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.  Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.  Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia. b. K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :  Stadium 1 : Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2  Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2  Stadium 3 : Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2  Stadium 4 : Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2  Stadium5 : Kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal. 5. Manifestasi Klinik a. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369): 1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi 2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah. b. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). c. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: 1. Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. 2. Gannguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels. d. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. e. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas. f. Gangguan Integumen Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. g. Gangguan endokrim Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D. h. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia. i. System hematologic Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni. 6. Pemeriksaan Penunjang Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain : a. Pemeriksaan lab.darah  Hematologi Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit  RFT ( renal fungsi test ) ureum dan kreatinin  LFT (liver fungsi test )  Elektrolit Klorida, kalium, kalsium  Koagulasi studi PTT, PTTK  BGA b. Urin  urine rutin  urin khusus : benda keton, analisa kristal batu. c. Pemeriksaan Kardiovaskuler  ECG  ECO d. Radiognostik  USG abdominal  CT scan abdominal  BNO/IVP, FPA  Renogram  RPG ( retio pielografi ) 7. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu : a. Konservatif  Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin  Observasi balance cairan  Observasi adanya odema  Batasi cairan yang masuk b. Dialysis  peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )  Hemodialisis Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :  AV fistule : menggabungkan vena dan arteri  Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung ). c. Operasi  Pengambilan batu  transplantasi ginjal B. Konsep Keperawatan 1. Diagnose Keperawatan a. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis. b. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis, perikarditis c. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan natrium. d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll). e. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan cara perawatan b.d kurangnya informasi kesehatan. f. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive g. Defisit self care b.d kelemahan, penyakitnya. 2. Intervensi Keperawatan  Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler. Intervensi: 1. Auskultasi bunyi jantung dan paru R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur 2. Kaji adanya hipertensi R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) 3. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri 4. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia.  Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: 1. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital 2. Batasi masukan cairan R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi 3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan 4. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output.  Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil Intervensi: 1. Awasi konsumsi makanan / cairan R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi 2. Perhatikan adanya mual dan muntah R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi 3. Beikan makanan sedikit tapi sering R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan 4. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek social 5. Berikan perawatan mulut sering R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan.  Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil Intervensi: 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret 2. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 3. Atur posisi senyaman mungkin R: Mencegah terjadinya sesak nafas 4. Batasi untuk beraktivitas R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia.  Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :  Mempertahankan kulit utuh  Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi: 1. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. 2. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan 3. Inspeksi area tergantung terhadap udem R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek 4. Ubah posisi sesering mungkin R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia 5. Berikan perawatan kulit R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit 6. Pertahankan linen kering R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit 7. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera 8. Anjurkan memakai pakaian katun longgar R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit.  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi Intervensi: 1. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas 2. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan 3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat 4. Pertahankan status nutrisi yang adekuat  Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa) b.d salah interpretasi informasi. 1. Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami. 2. Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ). 3. Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan. 4. Anjurkan keluarga untuk memberikan support system. 5. Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes. DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

LAPORAN PENDAHULUAN KELAINAN DEFEK JANTUNG

A. Konsep Medis 1. Pengertian Kelainan defek merupakan kelainan jantung bawaan yang disebabkan oleh gangguan perkembangan system kardiovaskular atau kelainan susunan jantung yang sudah ada sejak lahir, jadi terjadi pada saat masih embrio. 2. Macam-macam kelainan jantung a. Defek Septum Atrium (DSA) Adalah kelainan defek yang menjurus ke arah beban volume pada jantung bagian kanan, dimana septuim atrium yang matang terjadi proses embriologi yang rumit dan struktur tidak sempurna. Bentuk atrial septal defek yang paling umum adalah menetapnya ostium sekundum pada pertengahan septum (80 % kasus); bentuk yang lain adalah ostium primum (terletak di septum bagian bawah) persisten yang dapat disertai dengan kelainan katup mitralis atau bikuspidalis. Bentuk ketifa adalah defek sinus venosus di septum di bagian atas. Keadaan ini sering terjadi anomaly aliran darah sebagioan dari vena pulmonalis ke dalam vena kava superior. Pada ketiga bentuk kasus ini darah yang mengandung oksigen mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan sehingga meningkatkan output dan aliran darah pulmonal. b. Defek Septum Ventrikel (DSV) Adalah kelainan defek yang menjurus kea rah beban volume pada jantung bagian kiri. Atau suatu keadaan yang abnormal, yaitu pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan, dimana sekat atau septum ventrikel tidak terbentuk sempurna. Pada kelainan ini, pada septum interventrikuler terdapat lubang yang persisten akibat kegagalan fusi dari septum aorta menyebabkan darah mengalir dari ventrikel kiri yang tekanannya tinggi ke ventrikel kanan yang tekanannya lebih rendah. Defek besar menyebabkan gagal jantung kiri terjadi lebih awal. Pirau kiri ke kanan derajat sedang tetapi kronis dapat menyebabkan penyakit pembuluh darah paru dan gagal jantung kanan. Banyak defek ventrikel yang menutup spontan pada masa kanak-kanak awal. 3. Etiologi Penyebab terjadinya kealinan defek jantung baik DSA maupun DSV adalah secara pasti belum diketahui. Akan tetapi terdapat factor predisposisi penyebab terjadinya kelainan defek yaitu Faktor lingkungan : infeksi pada kehamilan (Ibu yang menderita Rubella), ibu hamil dengan alkoholik, usia pada saat hamil lebih dari 40 tahun, ibu yang menderita DM dan obat seperti thalidomide. 4. Patofisiologi a. Defek Septum Atrium  Antara minggu keempat dan ketujuh dari kehidupan fetalis, dua lembar lipatan jaringan terbentuk memisahkan ruang menjadi atrium kiri dan kanan . Septum primum, mempunyai dua defek tetapi ini secara normal akan tertutup sewaktu bagian kedua, dimana terdapat suatu celah sehingga dapat terjadi regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri dan kemudian sebagian darah ini masuk ke atrium kanan. Akibatnya tidak terjadi pembesaran atrium kiri meskipun terdapat juga insufisiensi mitral  Pada ostium sekundum ditutupi oleh lipatan septum sekundum. Pada kehidupan fetalis lipatan septum sekundum bertindak sebagai katup yang menyebabkan darah langsung masuk ke atrium kanan dari vena sistemik tanpa melalui paru, yang kemudian mengalir masuk ke dalam atrium kiri. Sewaktu sirkular pulmonal telah terbentuk septum sekundum menutup dan pada sebagian besar kasus kedua lapis lipatan menjadi satu. Sebagian besar kanak-kanak dan beberapa orang dewasa , lubang dapat dilalui diantara kedua lapisan yang disebut lubang paten foramen ovale. b. Defek Septum Ventrikel  Adanya defek pada ventrikel, menyebabkan tekanan ventrikel kiri meningkat dan resistensi sirkulasi sistemik lebih tinggi dibandingkan resistensi pulmonal. Hal ini menyebabkan darah mengalir ke arteri pulmonal melalui defek septum.  Volume darah di paru-paru akan meningkat dan terjadi resistensi pembuluh darah paru. Dengan demikian tekanan di ventrikel kanan meningkat akibat adanya shunting dari kiri ke kanan. Ini akan beresiko endokarditis, dan mengakibatkan hipertrofi otot ventrikel kanan sehingga akan berdampak pada peningkatan workload sehingga atrium kanan tidak dapat mengimbangi meningkatnya workload, terjadilah pembesaran atrium kanan untuk mengatasi resistensi yang disebabkan oleh pengosongan atrium yang tidak sempurna. 5. Manifestasi Klinik a. Defek Septum Atrium  Sebagian besar pasien dengan defek yang ringan atau sedang tidak menunjukkan gejala.  Pada pirau yang besar, timbul dispnea pada saat aktifitas, gagal jantung dan infeksi saluran nafas  Terdengan murmur ejeksi sistolik yang cukup keras di sela iga kedua dan ketiga akibat peningkatan aliran arteri pulmonalis.  Pada pemeriksaan palpasi terdapat kelainan ventrikel kanan yang hiperdinamik di parasternal kiri.  Pada auskultasi terjadi bunyi jantung dua tanpa bising. b. Defek Septum Ventrikel  Adanya tanda-tanda gagal jantung kanan : sesak, murmur, distensi vena jugularis, edema tungkai dan hepatomegali  Diaporesis  Anoreksia  Takipnea  Ujung-ujung jari hiperemik dan diameter dada bertambah  Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung yang hiperdinamik  Pada palpasi dan auskultasi tekanan arteri pulmonalis yang tinggi dan penutupan katup pulmonalis teraba jelas pada sela iga ketiga kiri dekat sternum, dan mungkin teraba getaran bising pada dinding dada. 6. Prognosis a. Defek Septum Atrium Tanpa operasi umur rata-rata penderita defek fosa ovalis dan defek sinus venosus adalah 40 tahun. Untuk defek atrioventrikuler lebih muda lagi. Angka mortalitas ini meningkat 5 – 10 % apabila tekanan sistolik arteri pulmonalis ≥ 60 mmHg. DSA sangat membahayakan karena selama puluhan tahun tidak menunjukkan keluhan dalam perjalanannya. Timbuilnya fibrilasi atrium dan gagal jantung merupakan gejala yang berat. b. Defek Septum Ventrikel Sebagian anak walaupun diberi pengobatan medik intensif tetap meninggal juga. Sebagian lagi akan berkembang menjadi sindrom Eisenmenger yang pada umur muda juga akan meninggal. Bila tindakan bedah dilakukan pada waktu yang tepat, penderita dapat mengecap kehidupan yang normal. Umumnya jarang melampaui usia 40 tahun. 7. Penatalaksanaan Medis a. Defek Septum Atrium DSA kecil tidak perlu oprerasi karena tidak menyebabkan gangguan hemodinamik atau bahaya endokarditis infektif. DSA besar perlu tindakan bedah yang dianjurkan dilakukan dibawah umur 6 tahun (pra sekolah). Walaupun setelah operasi kemungkinan ventrikel kanan masih menunjukkan dilatasi. Hal ini karena komplien otot jantung sudah berkurang. Pada penutupan spontan DSA sangat kecil kemungkinannya sehingga operasi sangat berarti. Defek fosa ovalis atau defek atrioventrikuler dengan komplikasi ditutup dengan bantuan mesin jantung paru b. Defek Septum Ventrikel Pasien dengan DSV besar perlu ditolong dengan obat-obatan untuk mengatasi gagal jantung. Biasanya diberikan digoksin atau diuretik, misalnya Lasix. Bila obat dapat memperbaiki keadaan, yang dilihat dengan membaiknya pernafasan dan pertambahan berat badan maka operasi dapat ditunda sampai usia 2-3 tahun. Tindakan bedah sangat menolong; karena tanpa tindakan tersebut harapan hidup berkurang. Operasi bila perlu dilakukan pada umur muda jika pengobatan medik untuk mengatasi gagal jantung tidak berhasil. B. Konsep Keperawatan 1. Pengkajian A. Keluhan Utama Keluhan pasien pada waktu ke dokter tergantung dari jenis dan derajat defek yang terjadi baik pada ventrikel maupun atrium, tapi biasanya terjadi sesak, pembengkakan pada tungkai dan berkeringat banyak. B. Riwayat Kesehatan 1. Riwayat kesehatan sekarang Pasien mengalami sesak nafas berkeringat banyak dan pembengkakan pada tungkai tapi biasanya tergantung pada derajat dari defek yang terjadi. 2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu a. Prenatal History Diperkirakan adanya keabnormalan pada kehamilan ibu (infeksi virus Rubella), mungkin ada riwayat pengguanaan alkohol dan obat-obatan serta penyakit DM pada ibu. b. Intra natal Riwayat kehamilan biasanya normal dan diinduksi. c. Riwayat Neonatus  Gangguan respirasi biasanya sesak, takipnea  Anak rewel dan kesakitan  Tumbuh kembang anak terhambat  Terdapat edema pada tungkai dan hepatomegali  Sosial ekonomi keluarga yang rendah. 3. Riwayat kesehatan Keluarga  Adanya keluarga apakah itu satu atau dua orang yang mengalami kelainan defek jantung  Penyakit keturunan atau diwariskan  Penyakit congenital atau bawaan. d. Sistim Yang di kaji 1. Aktivitas / istirahat  Keletihan/kelelahan  Dispnea  Perubahan tanda vital  Perubahan status mental. 2. Sirkulasi  Riwayat hipertensi  Endokarditis  Penyakit katup jantung  Edema pada tungkai  Takikardi  Murmur sistolik dan diastolik  Bunyi jantung S1 dan S2 melemah  Penurunan curah jantung. 3. Integritas Ego  Ansietas, khawatir, takut  Stress yang b/d penyakit. 4. Makanan dan Cairan  Anoreksia  Pembengkakan ekstremitas bawah/edema. 5. Neurosensori  Kelelahan  Pening 6. Pernapasan  Dispnea  Takipnea  Bunyi nafas : mengi  Warna kulit pucat, sianosis. 7. Interaksi social  Penurunan peran dalam aktivitas sosial dan keluarga. 8. Kenyamanan  Kehilangan tonus otot  Kulit lecet 2. Pengkajian Fisik a. Inspeksi Pertumbuhan badan jelas terhambat, pucat dan banyak keringat bercucuran. Ujung-ujung jari hiperemik, diameter dada bertambah, nafas pendek, retraksi pada vena jugulum, sela interkostal dan region epigastrium. Pada anak kurus terlihat impuls jantung yang hiperdinamik. b. Palpasi Impuls jantung hiperdinamik kuat terutama yang timbul dari ventrikel kiri. Teraba getaraa bising pada dinding dada, pada DSA getaran bising teraba di sela iga ke II atau III kiri. Pada defek yang sangat besar sering tidak teraba getaran bising karena tekanan di ventrikel kiri sama dengan tekanan di ventrikel kiri. Teraba tepi hati tumpul di bawah lengkung iga kanan. c. Auskultasi Pada DSV terdapat bunyi jantung pertama mengeras terutama pada apeks dan sering diikuti” click” sebagai akibat terbukanya katup pulmonal dengan kekuatan pada pangkal arteri pulmonalis yang melebar. Bunyi jantung 2 mengeras terutama pada sela iga II kiri, umumnya closed split, terdengar bising holosistolik kasar di tepi sternum kiri dengan pungtum di sela iga ke IV. Pada DSA terdapat split bunyi jantung 2 tanpa bising sering menunjukkan gejala pertama dan salah satunya petunjuk akan DSA. Jarak antara komponen aorta pulmonal bunyi jantung 2 pada inspirasi dan ekspirasi tetap sama sehingga disebut “fixed splitting” . Bising sistolik dan pada pirau kiri ke kanan yang besar maka bising mik diastolic berfrekuensi rendah terdengar pada sela iga ke IV kiri atau kanan. 3. Pemeriksaan Diagnostik a. Ekokardiografi dapat menunjukkan beban volume ventrikel kanan yang berlebihan dengan adanya ventrikel dan atrium kanan yang membesar, dan kadang-kadang tampak defeknya itu sendiri. b. Echo transesofageal dapat meningkatkan sensitivitas akan adanya pirau yang kecil dan foramen ovale paten. c. Aliran radionuklir menilai besarnya pirau dari kiri ke kanan. d. MRI untuk menjelaskan anatominya. e. Kateterisasi jantung, masih merupakan diagnostic pasti, karena dapat menunjukkan dengan jelas adanya peningkatan saturasi oksigen antara vena cava dan ventrikel kanan akibat bercampurnya darah mengandung oksigen dari atrium kiri, menilai beratnya pirau dan mengukur tahanan vascular darah pulmonary. f. Angiografi kontras ventrikel kanan dan ventrikel kiri dapat menunjukkan kelainan katup terkait atau anomaly aliran vena pulmonalis. 4. Diagnose Keperawatan a. Penurunan curah jantung b/d malformasi jantung. b. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti pulmonal. c. Intoleran aktifitas b/d ketidakseimbangan rasio ventilasi perfusi. d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kelelahan dan anoreksia e. Kerusakan integritas kulit b/d edema dan gangguan perffusi jaringan. f. Resiko tinggi infeksi b/d menurunnya status kesehatan. g. Ansietas b/d status hospitalisasi pasien, kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi pasien. 5. Intervensi Keperawatan a. Penurunan curah jantung b/d malformasi jantung Tujuan : Klien menunjukkan tanda vital dalam batas yang normal yang ditandai dengan: disritmia terkontrol, tidak sesak, bebas dari gagal jantung. Intervensi : 1. Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit. R / : Penurunan curah jantung dapat menunjukan menurunnya nadi perifer. Pucat menunjukan menurunnya perfusi perifer sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung. 2. Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membrane mukosa, clubbing). R / : Sianosis dapat terjadi sebagai refraktori GJK. Area yang sakit sering berwarnabiru atau belang karena peningkatan kongesti vena. 3. Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, tachikardia, tachipnea, sesak, lelah saat minum susu, periorbital edema, oliguria). R / : Tanda-tanda CHF merupakan indikator penilaian terhadap adanya gagal jantung dan untuk menentukan intervensi selanjutnya. 4. Berkolaborasi dalam pemberian digoxin order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas. R / : Insiden toksisitas tinggi (20%) karena sempitnya batas antara rentang terapeutik dan toksik. Digoxin harus dihentikan pada adanya kadar obat toksik, frekuensi jantung lambat. 5. Berikan pengobatan untuk menurunkan after load. R / : Obat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti. 6. Berikan diuretika sesuai indikasi. R / : Tipe dan dosis diuretic tergantung pada gagal jantung. Penurunan pre load paling banyak digunakan dalam mengobati pasien dengan curah jantung relative normal ditambah dengan gejala kongesti. b. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti pulmonal Tujuan : Klien dapat menunjukan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pada jaringan serta tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru, yang ditandai dengan klien bebas dari gejala distress pernapasan. Intervensi : 1. Monitor kualitas dan irama pernapasan. R / : Jalan napas yang kolaps dapat menurunkan jumlah alveoli yang berfungsi, secara negative mempengaruhi pertujaran gas. 2. Berikan posisi semi fowler pada pasien R / : Menurunkan konsumsi atau kebutuhan oksigendan mempermudah pernapasan yang meningkatkan kenyamanan fisiologi dan psikologi. 3. Anjurkan kepada klien untuk istirahat yang cukup. R / : Istirahat akan membantu respon klien terhadap aktivitas dan kemampuan berpartisipasi dalam perawatan. 4. Anjurkan klien untuk batuk efektif, napas dalam. R / : Membersihkan jalan napas dan memudahkan aliran oksigen. 5. Berikan oksigen jika ada indikasi. R / : Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat memperbaiki atau menurunkan hipoksemia jaringan. 6. Berikan obat diuretika seperti lasix. R / : Menurunkan kongesti alveolar, meningkatkan pertukaran gas. c. Intoleran aktifitas b/d ketidakseimbangan rasio ventilasi perfusi Tujuan : Klien dapat mempertahankan aktivitas yang adekuat dan pasien akan berpartisipasi dalam aktivitas yang dilakukan oleh pasien, yang ditandai dengan menurunkan kelemahan dan kelelahan serta tanda vital dalam batas normal selama beraktivitas. Intervensi : 1. Periksa tanda vital sebelum dan selama aktivitas, terutama bila pasien menggunakan vasodilator atau diuretik. R / : Tanda-tanda vital dapat berubah setelah melakukan suatu aktivitas efek akibat obat (vasodilatasi), perpindahan cairan (diuretik) dapat mempengaruhi fungsi jantung. 2. Ijinkan pasien untuk beristirahat, dan hindarkan gangguan pada saat tidur. R / : Dengan memenuhi istirahat tidur dapat menghemat energi dan membantu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. 3. Anjurkan untuk melakukan aktivitas ringan. R / : Dengan permainan dan aktivitas ringan dapat mencegah kerja jantung secara tiba-tiba. 4. Berikan periode istirahat setelah melakukan aktivitas. R / : Memenuhi kebutuhan aktivitas pasien tanpa mempengaruhi stress miokard atau kebutuhan oksigen yang berlebihan. 5. Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin. R / : Suhu lingkungan yang panas atau dingin dapat mengganggu rasa aman nyaman pasien sehingga ia sering malas untuk beraktivitas. d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kelelahan dan anoreksia Tujuan : Klien akan mempertahankan intake makanan dan minuman yang adekuat untuk mepertahankan berat badan dalam rangka pertumbuhan, dengan criteria hasil porsi makan dihabiskan, BB meningkat atau dipertahankan. Intervensi : 1. Timbang BB setiap hari dengan timbangan dan waktu yang sama. R / : Memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi dan kefektifan terapi. Kehilangan BB bermakna dan masukan makan dan memberikan petunjuk tentang sensitivitas kemudian ventilator. 2. Catat intake dan out put secara benar. R / : Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan. 3. Berikan makan dalam porsi kecil tetapi sering. R / : Menghindari kelelahan saat makan, meminimalkan anoreksia dan mual serta untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi klien. 4. Berikan intake cairan yang adekuat R / : Klien yang memperoleh pengobatan diuretika cenderung mengalami kekurangan cairan akibat out put yang berlebihan. e. Kerusakan integritas kulit b/d edema dan gangguan perffusi jaringan Tujuan : Klien dapat mempertahankan integritas kulitnya yang ditandai dengan pasien bebas dari edema, memiliki kulit yang bersih dan utuh, integritas kulit terjamin. Intervensi : 1. Kaji kulit, catat adanya penonjolan tulang, edema area sirkulasi terganggu/pigmentasi. R / : Kulit sangat beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi. 2. Pijat area kemerahan atau yang memutiih. R / : Meningkatkan aliran darah, dan meminimalkan hipoksia jaringan 3. Ubah posisi sesering mungkin di tempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif. R / : Memperbaiki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang mengganggu aliran darah. 4. Berikan perawatan kulit kering dan meminimalkan dengan keadaan lembab/ekskresi. R / : Kulit yang terlalu kering atau lembab dapat mempercepat proses kerusakan. 5. Hindari pemberian obat intramuskuler. R / : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan merupakan faktor predisposisi untuk kerusakan kulit. f. Resiko tinggi infeksi b/d menurunnya status kesehatan Tujuan : Klien mengalami resiko infeksi minimal, yang ditandai dengan klien tidak menunjukan tanda-tanda infeksi, dapat mengkonsumsi diet sesuai usia, pasien tidak berhubungan dengan individu yang terinfeksi atau pasien yang terkontaminasi. Intervensi : 1. Catat faktor resiko terjadinya infeksi. R / : Kesadaran akan faktor resiko akan memberikan kesempatan untuk membatasi efeknya. 2. Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur. R / : Meminimalkan perkembangan organisme penyebab infeksi dan pasien dapat terhindar dari infeksi nosokomial. 3. Pantau suhu setiap saat. R / : Untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi. 4. Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia klien. R / : Dengan terpenuhinya nutrisi klien yang adekuat dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi. 5. Berikan penjelasan kepada keluarga tentang cara-cara penyebaran infeksi. R / : Informasi yang adekuat akan membantu dalam proses pemulihan klien. 6. Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian antibiotik. R / : Meminimalkan proses perkembangan bakteri dan mencegah terjadinya inflamasi. g. Ansietas b/d status hospitalisasi pasien, prosedur dan tes diagnostik, kurang pengetahuan tentang kesehatan pasien Tujuan : Klien dan keluarga tidak menunjukkan kecemasan, ditandai dengan pasien dapat berespon terhadap prosedur pengobatan, keluarga akan mengekspresikan perasaaannya karena pasien memiliki dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa keluarga memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan. Intervensi : 1. Jelaskan prosedur dengan cermat sesuai dengan tingkat pemahaman pasien. R / : Untuk menurunkan rasa takut atau cemas terhadap hal-hal yang tidek diketahuinya. 2. Tingkatkan ekspresi perasaan dan takut, seperti menolak dan marah. Biarkan klien/keluarga mengetahui ini sebagai reaksi normal. R / : Perasaan yang tidak diekspresikan dapat menimbulkan kekacauan internal dan meningkatkan kecemasan. 3. Dorong keluarga untuk menganggap klien seperti sebelumnya R / : Meyakinkan klien dan keluarga bahwa perannya di dalam keluarga tidak berubah. 4. Berikan informasi yang jelas tentang kondisi pasien. R / : Menambah pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien sehingga dapat meminmalkan kecemasannya. 5. Berikan beberapa cara pada pasien untuk melibatkannya dalam prosedur, misalnya memegang suatu alat, seperti balutan. R / : Untuk meningkatkan rasa kontrol, mendorong kerja sama dan mendukung keterampilan pasien. 6. Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga dan keinginannya untuk belajar. R / : Mengidentifikasi secara verbal tingkat pemahaman klien/keluarga serta kesalahpahaman dan memberikan penjelasan. 7. Implementasi Keperawatan Pada tahap implementasi atau pelaksanaan dari asuhan keperawatan meninjau kembali dari apa yang telah direncanakan/intervensi sebelumnya, dengan tujuan utama pada pasien dapat mencakup perbaikan curah jantung, tidak terjadi gangguan pertukaran gas, mempertahankan tingkat aktifitas, pertumbuhan dan perkembangan pasien baik, pemeliharaan keseimbangan nutrisi, menghindari resiko infeksi, mempertahankan integritas kulit dan pengurangan kecemasan. 8. Evaluasi Hasil yang diharapkan yaitu : a. Apakah pasien dapat menunjukkan perbaikan curah jantung? b. Apakah pasien dapat menunjukkan pertukaran gas yang optimal? c. Apakah paiesn mempertahankan tingkat aktivitas? d. Apakah pasien dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal? e. Apakah pasien dapat mempertahankan status nutrisi yang adekuat ? f. Apakah pasien dapat menghindari resiko infeksi ? g. Apakah pasien dapat mempertahankan integritas kulit ? h. Apakah pasien dan keluarga menunjukkan penurunan rasa takut yang berhubungan dengan prosedur dan kurang pengetahuan ? DAFTAR PUSTAKA Marilynn E Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Staf Pengajar Kesehatan Anak FKUI, 1985, Ilmu Kesehatan Anak, FKUI Jakarta. Staf Pengajar Patologi Anatomi FKU Airlangga, 1995, Buku Ajar Patologi II, FKU Airlangga, Jakarta. Staf Pengajar FKUI, 1986, Patologi, FKUI, Jakarta. Suriadi & Rita Yuliani, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Penerbit Fajar Interpratama, Jakarta. Tierney, dkk., 2002, Diagnosis dan Terapi Kedokteran, Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Underwood, 1997, Patologi Umum & Sistematik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.