Jumat, 13 Mei 2011

GANGGUAN SISTIM SARAF

1. Lumbal Puncsi (LP)
A. Test Diagnostik
1. Pengertian
adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. (Brunner and Suddarth’s, 1999)
2. Tujuan
Bertujuan mengambil cairan cerebrospinal untuk kepentingan pemeriksaan/ diagnostik maupun kepentingan therapi.
3. Indikasi
 Untuk Diagnostik
 Kecurigaan meningitis
 Kecurigaan perdarahan sub arachnoid
 Pemberian media kontras pada pemeriksaan myelografi.
 Evaluasi hasil pengobatan.
 Untuk Therapi
 Pemberian obat antineoplastik atau anti mikroba intra tekal.
 Pemberian anesthesi spinal.
 Mengurangi atau menurunkan tekanan CSF.
4. Kontra Indikasi
 Syock/renjatan
 Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
 Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying lesion,hedrosefalus)
 Gangguan pembekuan darah yang belum diobati.
5. Anestesi local
 Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
 Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin. (Reis CE, 2006)
 Tempat sampah.

B. Penatalaksanaan
1. Persiapan pasien
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi, dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.

2. Persiapan Alat
 Sarung tangan steril
 Duk lubang.
 Kassa steril, kapas dan plester.
 Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet.
 Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70%
 Tabung reskasi untuk menampung cairan serebrospinal.
3. Prosedur Pelaksanaan
 Lakukan cuci tangan steril.
 Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
 privacy pasien
 Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah lutut), eksterimitas bawah fleksi maksimum (lutut di atarik kearah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
 Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.
 Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70 % dan tutup dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
 Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
 Anestesi lokal disuntikan ke tempat penusukan dan tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum perlahan – lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus durameter. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm.
 Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
 Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
 Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
 Cuci tangan
 Setelah Prosedur
 Klien tidur terlentang tanpa bantal selama 2-4 jam.
 Observasi tempat fungsi terhadap kemungkinan pengeluaran cairan cerebrospinal.
 Bila timbul sakit kepala, lakukan kompres es pada kepala, anjurkan tekhnik relaksasi, bila perlu pemberian analgetik dan tidur sampai sakit kepala hilang.
 Komplikasi
 Haerniasi tonsiler.
 Meningitis dan empiema epidural atau sub dural.
 Sakit pinggang.
 Infeksi
 Kista epidermoid intraspinal
 Kerusakan diskus intervetebralis




















2. Angiografi
A. Test Diagnostik
1. Pengertian
Adalah sistem diagnostik yang berfungsi untuk pemotretan pembuluh darah dengan bantuan penyuntikan bahan kontras ke dalam pembuluh darah dan menggunakan system foto seri yang membutuhkan beberapa buah film pada setiap exposure.
2. Tujuan
 Untuk mendeteksi problem pada pembuluh darah yang ada di dalam atau yang menuju otak (contohnya, aneurysma, malformasi pembuluh datah, trombosis, penyempitan atau penyumbatan)
 Untuk mempelajari pembuluh darah otak yang letaknya tidak normal (karena tumor, gumpalan darah, pembengkakan, spasme, tekanan otak meningkat, atau hydrocephalus)
 Untuk menentukan pemasangan penjepit pembuluh darah pada saat pembedahan dan untuk mencek kondisi pembuluh tersebut.
 Sinar Yang Tejadi Selama Tes :
 Anda akan dibaringkan pada meja penyinaran pada saat dilakukan injeksi. Anda perlu berbaring dengan posisi lengan di sisi Anda.
 Kemudian jarum dimasukkan ke arteri. Setelah dilakukan sinar-X untuk melihat letak jarum, dokter menginjeksikan cairan kontras khusus. Anda akan merasa seperti terbakar sesaat pada saat cairan kontras disuntikkan. Setelah itu Anda akan merasa hangat dan kemerahan, nyeri kepala sebentar, atau merasa asin di mulut. Bahkan mungkin Anda akan mual dan muntah.
 Setelah injekdi, dilakukan penyinaran -X, hasilnya diproses, dan dilihat. Tergantung pada hasil tersebut, mungkin akan dimasukkan cairan kontras lagi dan dilakukan penyinaran sinar-X serial. Jika sudah didapatkan hasil penyinaran sinar-X serial yang memuaskan, dokter menarik jarum, perawat akan mencek apakah ada perubahan dan memasang perban.

 Yang Terjadi Setelah Tes :
 Biasanya, Anda akan beristirahat di tempat tidur selama 12 sampai 24 jam dan mendapat obat untuk nyeri. Perawat akan memeriksa Anda setiap jam selama 4 jam pertama dan kemudian tiap 4 jam.
 Anda akan dikompres es pada tempat suntikkan untuk membuat rasa nyaman dan mengurangi pembengkakan.
 Jika injeksi pada paha dalam, maka jagalah kaki tetap lurus selama 12 jam atau lebih. Jika pada daerah leher, perawat akan memeriksa kemampuan menelan dan pernafasan Anda.
 Setelah tes. Anda bisa kembali ke diet normal. Minumlah cairan untuk membantu mengeluarkan cairan kontras.
3. Indikasi
 Penyakit koroner
 Serangan angina baru
 Angina tidak stabil
 Iscemia tidak tampak
 TMT (Treadmill Test positif)
 Nyeri dada
 Infark miocard
 Angina tidak stabil post infark
 Gagal thrombosis
 Shock
 Komplikasi mekanik
 Evaluasi :
 Post operasi CABG (Coronary Bypass Graff)
 Post PTCA
 Penelitian


4. Kontra Indikasi
 Relatif
 Cronic heart failure tidak terkontrol, hipertensi, aritmia
 Cerebrovasculer accident / cerebrovasculer desease  1 bulan
 Infeksi / demam
 Elektrolit inbalance
 Perdarahan gastro intestinal akut
 Kehamilan
 Anti koagulasi
 Pasien tidak kooperatif
 Keracunan obat
 Gagal ginjal
 Mutlak
 Tidak cukup perlengkapan / fasilitas

B. Penatalaksanaan
 Persiapan Pasien
 Menjelaskan prosedur pelaksanaan, sensasi yang terjadi (rasa terbakar saat penyuntikan zat kontras yang lama kelamaan akan menghilang).
 Hal yang perlu dilakukan setelah tindakan dilakukan.
 Surat izin tindakan telah di tandatangani pasien/keluarga
Komplikasi yang mungkinterjadi adalah hematom pada daerah suntikan dan keracunan zat kontras. Hematoma dapat dicegah dengan melakukan balut tekan pada daerah suntikan sedangkan alergi zat kontras di cegah dengan pemberian anti alergi sesuai program.
Setelah prosedur, observasi tanda-tanda vital setiap jam sampai kondisi stabil, kompres es dapat di berikan pada daerah suntikan untuk menghilangkan rasa nyeri dan mengurangi/mencegah hematoma,klien tidur terlentang tanpa bantal selama 24 jam, jika penyuntikan dilakukan pada arteri femoralis, tungkai harus tetap lurus selama 6-8 jam, catat dan segera laporkan selama perubahan-perubahan neurologi seelah tindakan angiografi.
 Persiapan Alat dan Bahan
 Alat
 Satu set angio pack yang terdiri dari
 Abdominal sheet 1
 Towel segi empat 3
 Lithotomy sheet 1
 I/I cover 1
 Hand towel 2
 Goun 2
 Sigle Layer 1
 Satu set angio instrument yang terdiri:
 Sponge Holder 1
 Towel Clip 4
 Arteri klem besar 1
 Arteri klem kecil 1
 Galipot 2
 Kidney disk 2
 Round bowl 1
 Tray 1
 Gauze swab 2 pack
 Gauze depper 1 pack
 Syringe 10 cc 2
 Blade scapel No: 11 1
 Nedle percutan 1
 Introduser sheath 1 set
 J wire 0.038 inc 3 mm 150 cm 1
 Kateter Judkin Left 4 6 F 1
 Kateter Judkin Right 4 6 F 1
 Kateter pigtail 6 F bila diperlukan
 Pressure monitor Line152 cm 1
 Glove steril 1 pc
 Three Way rotating 1
 Dome steril 1
 Cairan
 Nacl 0.9 % + heparin 2500 iu 2 flb
 Betadin Solution secukupnya
 Alkohol 70% secukupnya
 Obat-obatan
 Lidokain 2%/xylocain 5 amp/20 cc
 Kontras secukupnya
 Prosedur Pelaksanaan
 Pasien masuk ruang tindakan
 Dilakukan perekaman EKG (Elektrokardiografi) 12 lead
 Preparasi daerah yang akan dilakukan pungsi bila FEAR(Femoral arteri right) bersihkan daerah inguinalis kanan dan kiri dengan betadin 10%secara aseptik dan anti septik
Bila di radialis / brakialis bersihkan dengan betadin 10% daerah sekitarnya .dengan teknik aseptic dan antiseptik.
 Tutup daerah ,tusukan dengan duk.lubang,daerah dada dan perut dengan laken dan daerah extremitas bawah dengan laken besar,semua dalam keadaan steril.
 Dilakukan anestesi lokal dahulu ,dengan lidocain 2 % kemudian dibuat sayatan /luka kecil.
 Dilakukan pungsi FEAR , masukan J wire / pendek.
 Setelah J wire pendek masukan sheath jarum dicabut wire dipertahankan pada pembuluh darah, kemudian sheath masuk bersama introduser J wire pendek, dicabut .
 Spoel sheath dengan NaCL + heparin 2500 iu, sebelumnya .aspirasi ,spoul sampai bersih .
 Masukan kateter JUDKIN RIGHT 4. 6 F .yang didalam nya sudah ada J wire panjang. masukan sampai + 1/3 bawah lutut dan tahan wire.
 Bila kateter sudah sampai di sinus valsava, dorong wire panjang pada saat sistolik supaya masuk ke LV(Left Ventrikel),setelah masuk LV tarik wire panjang .saambung dengan three way aspirasi sedikit kemudian di lakukan pengukuran dan pullback kateter untuk mengukur gradien .
 Bila kateter sudah masuk ke muara RCA(Right Coronary Arteri)
 Dilakukan kororanografi dengan posisi RAO(Right Anterior Obliqe) 300 dan LAO(Left Anterior Obliqe) 400, CRANIAL 150 – 200.
 Cabut cartheter dan ganti dengan JUDKIN LEFT 4 6 F.
 Lakukan pengambilan gambar pada posisi :
• LAO – CRANIAL ( 400 – 250
• RAO – CAUDAL ( 20 – 20 )
• CRANIAL ( 300 )
• CAUDAL ( 30 )
• ( LAO 45 – CAU 20 )
 Cabut kateter dan ganti dengan pigtail untuk LV grafi bila diperlukan.
 Masukkan pigtail sampai LV dan sambung kateter dengan alat injektor dengan ketentuan volume 30 kecepatan 12 ml / sec dengan posisi RAO 30 tekanan 450 Psi
 Prosedur selesai pasien diberi penjelasan bersihkan daerah tusukan, alat – alat di bersihkan dan di rendam
 Pasien di pindahkan ke RR(Recovery Room).


3. CT Scan
A. Test Diagnostik

1. Pengertian
Metode pencitraan yang menghasilkan bidang atau irisan dari tubuh manusia dan informasi anatomi,yang dibuat melalui sintesa computer dari sinar X yang di munculkan pada visual display.
2. Tujuan
Untuk mendiagnosa kelainan-kelainan yang terdapat di dalam tubuh manusia, juga sebagai evaluasi terhadap tindakan atau operasi maupun terapi yang akan di lakukan terhadap pasien.
3. Indikasi
 Trauma kepala
 Kerusakan serebrovaskuler
 Identifikasi adanya tumor otak
 Abses otak
 Perdarahan intraserebral
 Hydrosephalus
 Perkembangan abnormal otak
4. Kontra Indikasi
 Pasien tidak kooperatif
 Alergi bahan iodine bagi yang menggunakan kontras









B. Penatalaksanaan
 Persiapan pasien
 Pasien harus diberitahu sebaiknya dengan keluarga. Pasien diberi gambaran tentang alat yang akan digunakan. Bila perlu berikan gambaran dengan mengunakan kaset video atau poster, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengrtian pada pasien dengan demikian mengurangi stress sebelum waktu prosedur dilakukan. Test awal yang dilakukan meliputi :
 Kekuatan untuk diam ditempat (dimeja scanner) selama 45 menit.
 Melakukan pernafasan dengan aba-aba (untuk keperluan bila ada permintaan untuk melakukannya) saat dilakukan pemeriksaan.
 Mengikuti aturan untuk memudahkan injeksi zat kontras.
 Penjelasan kepada klien bahwa setelah dikakukan injeksi zat kontras maka wajah akan nampak merah dan terasa agak panas pada seluruh badan , dan hal ini merupakan hal yang normal reaksi dari obat tersebut. Perhatikan keadaan klinis klien apakah pasien mengalami alergi terhadap iodene. Apa bila pasien merasakan adanya rasa sakit berikan anlgetic dan bila pasien merasa cemas dapat di berikan minor transqualizer. Bersihkan rambut pasien dari jelly atau obat-obatan. Rambut tidak boleh dikelabang dan tidak memakai wig.
 Teknik Pemeriksaan
 Posisi pasien : Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat dengan gantry.
 Posisi Objek : Kepala hiperfleksi dan diletakkan pada head holder. Kepala diposisikan sehingga mid sagital plane tubuh sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan interpupilary line sejajar dengan lampu indikator horizontal. Lengan pasien diletakkan diatas perut atau disamping tubuh. Untuk mengurangi pergerakan dahi dan tubuh pasien sebaiknya difikasasi dengan sabuk khusus pada head holder dan meja pemeriksaan. Lutut diberi pengganjal untuk kenyamanan pasien ( Nesseth, 2000 ).

 Scan Parameter
• Scanogram : kepala lateral
• Range : range I dari basis cranii sampai pars petrosum dan range II dari pars petrosum sampai verteks.
• Slice Thickness : 2-5 mm ( range I ) dan 5-10 mm ( range II )
• FOV : 24 cm
• Gantry tilt : sudut gantry tergantung besar kecilnya sudut yang terbentuk oleh orbito meatal line dengan garis vertical.
• kV : 120
• mA : 250
• Reconstruksion Algorithma : soft tissue
• Window width : 0-90 HU ( otak supratentorial ); 110-160 HU ( otak pada fossa posterior ); 2000-3000 HU ( tulang )
• Window Level : 40-45 HU ( otak supratentorial ); 30-40 HU ( otak pada fossa posterior ); 200-400 HU ( tulang )

 Foto sebelum dan sesudah pemasukkan media kontras
Secara umum pemeriksaan CT-scan kepala membutuhkan 6-10 irisan axial. Namun ukuran tersebut dapat bervariasi tergantung keperluan diagnosa. Untuk kasus seperti tumor maka jumlah irisan akan mencapai dua kalinya karena harus dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras. Tujuan dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras adalah agar dapat membedakan dengan jelas apakah organ tersebut mengalami kelainan atau tidak.
 Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-scan kepala pada umumnya:
• Potongan Axial I
• Merupakan bagian paling superior dari otak yang disebut hemisphere. Kriteria gambarnya adalah tampak :


 Bagian anterior sinus superior sagital
 Centrum semi ovale (yang berisi materi cerebrum)
 Fissura longitudinal (bagian dari falks cerebri)
 Sulcus
 Gyrus
• Bagian posterior sinus superior sagital
• Potongan Axial IV
• Merupakan irisan axial yang ke empat yang disebut tingkat medial ventrikel. Criteria gambarnya tampak :


 Anterior corpus collosum
 Anterior horn dari ventrikel lateral kiri
 Nucleus caudate
 Thalamus
 Ventrikel tiga
 Kelenjar pineal (agak sedikit mengalami kalsifikasi)
 Posterior horn dari ventrikel lateral kiri
 Potongan Axial V
• Menggambarkan jaringan otak dalam ventrikel medial tiga. Kriteria gambar yang tampak :












 Anterior corpus collosum
 Anterior horn ventrikel lateral kiri
 Ventrikel tiga
Kelenjar pineal
 Protuberantia occipital interna
 Potongan Axial VII
• Irisan ke tujuh merupakan penggambaran jaringan dari bidang orbita. Struktur dalam irisan ini sulit untuk ditampakkan dengan baik dalam CT-scan. Modifikasi-modifikasi sudut posisi kepala dilakukan untuk mendapatkan gambarannya adalah tampak :







 Bola mata / occular bulb
 Nervus optic kanan
 Optic chiasma
 Lobus temporal
 Otak tengah
 Cerebellum
 Lobus oksipitalis
 Air cell mastoid
 Sinus ethmoid dan atau sinus sphenoid
 Persiapan Alat dan Bahan
 Alat dan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan kepala dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Peralatan steril :
• Alat-alat suntik
• Spuit.
• Kassa dan kapas
• Alkohol
2. Peralatan non-steril
• Pesawat CT-Scan
• Media kontras
• Tabung oksigen
 Prosedur Pelaksanaan
 Posisi telentang dengan tangan terkendali.
 Meja elektronik masuk kedalam alat scanner
 Dilakukan pemantauan melalui komputer dan pengambilan gambar dari beberapa sudut yang dicurigai adanya kelainan.
 Selama prosedur berlangsung pasien harus diam absolut selama 2-45 menit.Pengambilan gambar dilakukan dari berbagai posisi dengan pengaturan komputer.
 Selama prosedur berlangsung parawat harus menemani pasien dari luar dengan memakai protektif lead approan.
 Sesudah pengambilan gambar pasien dirapikan.
















3. MRI (Magnetik Resonance Imaging)

A. Test Diagnostik

1. Pengertian
MRI( Magnetic Resonance Imaging ) merupakan suatu alat diagnostik mutakhir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh anda dengan menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi radio, tanpa operasi, penggunaan sinar X, ataupun bahan radioaktif. selama pemeriksan MRI akan memungkinkan molekul-molekul dalam tubuh bergerak dan bergabung untuk membentuk sinyal-sinyal. Sinyal ini akan ditangkap oleh antena dan dikirimkan ke komputer untuk diproses dan ditampilkan di layar monitor menjadi sebuah gambaran yang jelas dari struktur rongga tubuh bagian dalam
2. Tujuan
Memberikan gambar yang sangat jelas dari otak dan tulang belakang. MRI secara efektif telah menggantikan CT scan untuk mendiagnosa penyakit sebagian otak besar dan tulang belakang, beberapa pengecualian yang luar biasa mencakup pasien dengan fraktur tulang belakang dan trauma akut.
3. Indikasi
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan pada berbagai organ dan sistem tubuh. Sebuah jaringan tubuh yang rusak akan menimbulkan pembengkakan (edema). Adanya pembengkakan ini akan memberikan warna kontras yang berbeda dengan jairngan normal. MRI dapat digunakan untuk berbagai kelainan di bidang saraf, anggota gerak tubuh, tumor, dan penyakit jantung.
 Di bidang saraf: stroke, tumor otak, kelainan mielinisasi otak, gangguan aliran cairan otak/hidrocephalus, beberapa bentuk infeksi otak, gangguan pembuluh darah otak, dsb.
 Di bidang muskuloskeletal: tumor jaringan tulang atau otot, kelainan saraf tulang belakang, tumor spinal, jeputan akar saraf tulang belakang, dsb.
 Di bidang kardiologi: pembuluh darah besar, pemeriksaan MRA (Magnetic Resonance Angiografi) carotis, dsb.
4. Kontra Indikasi
 Pemasangan alat-alat logam dalam tubuh seperti pacemakers, pemasangan alat logam pada ortopedik.
 Pasien yang hamil.

B. Penatalaksanaan

 Persiapan Pasien
Pemeriksaan MRI tidak memerlukan banyak persiapan khusus. MRI tidak memberikan rasa sakit. Waktu yang diperlukan adalah berkisar antara 30-45 menit. Pasien diharap tidak mengenakan aksesoris tubuh yang berasal dari bahan logam secara berlebih. Hal ini penting karena MRI menggunakan prinsip magnetisasi. Pasien akan diminta diam untuk beberapa saat sampai prose magnetisasi selesai. Ada baiknya pasien melihat dulu alat MRI beberapa saat sebelum prosedur dilakukan. Hal ini terutama sekali dianjurkan bagi orang-orang yang memiliki ketakutan terhadap ruang sempit (klustrofobia). Pada pemeriksaan tertentu diperlukan kontras. Pada Anda akan disuntikkan zat kontras, kemudian dilakukan MRI ulang. Pemberian kontras adalah prosedur yang sangat aman, dikerjakan sesuai prosedur, dan dikerjakan oleh ahlinya.






 Alat yang di gunakan




 Keunggulan dari MRI
 Dalam praktek klinik, MRI digunakan untuk membedakan berbagai jaringan patologis (misalnya tumor, pembengkakan) dari jaringan tubuh yang normal. Perbedaan dapat dilihat dengan sangat jelas dan kontras.
 Coba lihat gambar di bawah ini yang menunjukkan MRI pada berbagai organ tubuh. Gambar MRI dapat memberikan kontras yang sangat baik antara berbagai jaringan tubuh (tulang, otot, cairan), dan mampu membedakan jaringan yang normal dan tidak normal.



 Salah satu keunggulan yang lain adalah keamanan MRI. MRI menggunakan prinsip medan magnet, dan bukan radiasi non ion seperti alat radiologi yang tradisional. Penggunaan radiasi berlebih memiliki berbagai dampak negatif bagi tubuh.

 Prosedur Pelaksanaan
 Pertama, putaran nukleus atom molekul otot diselarikan dengan menggunakan medan magnet yang berkekuatan tinggi.
 Kemudian, denyutan/pulsa frekuensi radio dikenakan pada tingkat menegak kepada garis medan magnet agar sebagian nuklei hidrogen bertukar arah.
 Selepas itu, frekuensi radio akan dimatikan menyebabkan nuklei berganti pada konfigurasi awal. Ketika ini terjadi, tenaga frekuensi radio dibebaskan yang dapat ditemukan oleh gegelung yang mengelilingi pasien.
 Sinyal ini dicatat dan data yang dihasilkan diproses oleh komputer untuk menghasilkan gambar otot.



 Secara garis besar instrumen MRI terdiri dari:
 Sistem magnet yang berfungsi membentuk medan magnet.
 Sistem pencitraan berfungsi membentuk citra yang terdiri dari 3 buah kumparan koil, yaitu : Gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagital, Gardien koil Y, untuk membuat citra potongan koronal, dan Gradien koil Z untuk membuat citra potongan aksial. Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja secara bersamaan maka terbentuk potongan oblik.
 Sistem frekuensi radio berfungsi membangkitkan dan memberikan radio frekuensi serta mendeteksi sinyal.
 Sistem komputer berfungsi untuk membangkitkan urutan pulsa, mengontrol semua komponen alat MRI dan menyimpan memori beberapa citra. Sistem pencetakan citra, berfungsinya untuk mencetak gambar pada film Rongent atau untuk menyimpan citra.

Berikut ini contoh potongan gambar hasil MRI :












4. Electroncephalography (EEC)

A. Test Diagnostik

1. Pengertian
Adalah suatu cara untuk merekam aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh.
2. Tujuan
 Umum
Memberikan pengetahuan dalam interpretasi EEG dan melatih keterampilan dalam melakukan perekaman EEG dengan baik dan benar, sesuai standard minimal yang ditentukan oleh The American EEG Guideline of EEG yang diterima secara internasional.
 Khusus
 Peserta dapat melakukan perekaman EEG mulai dari persiapan perekaman, anamnesa, penempatan elektroda dengan system Internasional 10-20, menjalankan mesin EEG, merekam EEG dengan teknik yang benar, sampai dengan penutupan perekaman.
 Peserta dapat merawat mesin EEG beserta asesorisnya.
 Peserta dapat mengetahui artefak EEG dan menghilangkannya, sehingga dapat menghasilkan rekaman EEG yang baik dan bebas dari artefak.
 Peserta dapat mengidentifikasi variasi normal gelombang EEG sehingga tidak terjadi over diagnosed.
 Peserta mengerti apa yang harus dilakukan apabila terjadi kejang maupun hal-hal lain selama perekaman.
 Peserta mengerti tentang teknik perekaman pada keadaan-keadaan khusus seperti kejang, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, coma dan brain death.
 Peserta mengetahui tentang pola EEG normal, baik dalam keadaan sadar maupun tidur.
 Peserta mengetahui tentang pola EEG abnormal seperti slow wave, epileptiform pattern, special pattern dan special pattern used only in patient stupor or coma.Peserta dapat melokalisasi gelombang EEG abnormal dengan menggunakan mesin pembaca EEG digital.
3. Indikasi
 Untuk mendiagnosa epilepsi, kematian otak
 Ensefalitis
 Keadaan dimensia
 Evaluasi pengobatan intoksikasi

B. Penatalaksanaan
 Persiapan Pasien
 Penyuluhan Kesehatan
 Penderita diberitahu hal-hal yang akan dilakukan. EEG akan dikerjakan di ruangan yana aman (Laboratory diagnostic) oleh tekhnisian EEG. Di dalam ruang penderita akan dipasang elektroda sebanyak 16-24 denagn pasta. Elektroda yang kecil tersebut akan dihubungkan dengan mesin EEG. Tunjukan melalui gambar atau video casste bila memungkinkan.
 Menganjurkan kepada pasien untuk membebaskan rasa gelisa selam 45-60 menit, pemasangan alat bukan merupakan alat yang berbahaya.
 Melakukan pendekatan kepada pasien untuk mengurangi kemungkinan terjadinya stres, kecemasan atau gemetaran akibat pemasangan elektroda
 Menjelaskan kepada pasien bahwa pada waktu pemeriksaan harus dalam keadaan relaksasi sempurna, duduk atau tiduran dengan tanpa getaran sedikitpun sehingga mendapatkan hasil yang baik.
 Anjurkan pasien untuk mengikuti perintah petugas selama prosedur, antara lain:
 Hyperventilasi selama 3-5 menit
 Usahakan untuk tetap dapat menutup mata
 Fisik
 Obat-obatan seperti depresan susunan saraf pusat (Alkohol atau tranqualizer) atau stimulan tidak diberikan selama 24 jam sebelum pemeriksaan dilakukan, karena akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas listrik otak. Dokter akan memberikan instruksi untuk pemberian anti konvulsi bila perlu 24-48 jam sebelum tindkan.
 Cairan yang mengandung cefein seperti copi, coklat dan teh tidak diberikan selama sebelum tindakan dilakukan.
 Rambut harus bersih, bebas dari spray,minyak,lotion dan hair fastener
 Pasien harus makan pagi sebelum dilakukan pemeriksaan, karena hypoglikemia menyebabkan ketidak normalan potensial listrik.

 Prosedur Pelaksanaan
 Posisi pasien berbaring, ciptakan suasana sedemikian rupa sehingga nyaman bagi pasien.
 Petugas EEG menempelkan 16-24 elektroda pada lokasi yang spesifik pada kulit kepala serta menghubungukannya melalui kawat peghubung ke mesin/alat EEG.
 Garis dasar (Gambar dasar) dihasilkan mengikuti 3 urutan pemeriksaan yaitu hyperventilasi, stimulasi “photic” dan tidur.
 Hyperventilasi :
Pasien dianjurkan untuk melakukan hyperventilasi dengan cara mengambil nafas 30-40 nafas melalui mulut setiap menitnya selama 3-5 menit. Perlu diingat kenaikan pH serung (kira-kira 7,8) akan menaikan rangsangan neuron dan akan menyebabkan serangan aktifitas pada pasien epilepsi.
 Photic Stimulasi:
Cahaya yang silau difokuskan ke pasien dimana pasien di anjurkan untuk menutup matanya. Stimulasi ini akan menyebabkan aktivitas serangan bagi pasien yang mempunyai kecenderungan mendapat serangan.
 Tidur :
Pasien dianjurkan untuk tidur. Jika pasien tidak tidur dsaat diberikan hipnotik yang bekerjanya cepat. Hasil perekaman dari aktivitas listrik tersebut diinterprestasikan oleh neurologi.





















5. Elektromiografi (EMG)

A. Test Diagnostik

1. pengertian
adalah teknik untuk mengevaluasi dan rekaman aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot rangka. EMG dilakukan menggunakan alat yang disebut Electromyograph, untuk menghasilkan rekaman yang disebut
elektromiogram. Sebuah. Electromyograph mendeteksi potensial listrik yang dihasilkan oleh sel-sel otot ketika sel-sel ini elektrik atau neurologis diaktifkan. Sinyal dapat dianalisis untuk mendeteksi kelainan medis, tingkat aktivasi, perintah rekrutmen atau untuk menganalisa biomekanik gerakan manusia atau hewan.
2. Tujuan
 Membantu membedakan antara gangguan otot primer seperti distrofi otot dan gangguan sekunder.
 Membantu menentukan penyakit degeneratif saraf sentral.
 Membantu mendiagnosa gangguan neuromuskuler seperti myestenia gravis.
3. Indikasi
 Mendiagnosa adanya kelainan otot
 Gangguan kondisi neuromuscular.
4. Kontra Indikasi

 Pasien tidak koorperatif
 Terapi antikoagulasi atau penyakit karena pendarahan.




B. Penatalaksanaan
 Persiapan pasien
 Menginformasikan kepada pasien seluruh pemeriksaan prosedur ini akan menyebabkan ganguan rasa nyaman sementara, khususnya bila pasien sendiri bila di beri rangsangan listrik.
 Pastikan bahwa pasien tidak menggunakan obat-obat depresan atau sedatif 24 jam sebelum prosedur
 Cegah terjadinya syok listrik.
 Mengurangi rasa takut dan rasa sakit .
 Hasil Kerja EMG

 Hasil Normal
Jaringan otot saat istirahat biasanya elektrik aktif. Setelah aktivitas listrik yang disebabkan oleh iritasi subsidi penyisipan jarum, Electromyograph harus mendeteksi ada aktivitas spontan abnormal (yaitu, otot pada istirahat harus elektrik diam, dengan pengecualian daerah sambungan neuromuskuler, yang, dalam keadaan normal , sangat spontan aktif). Ketika otot secara sukarela dikontrak, potensial aksi mulai muncul. Sebagai kekuatan kontraksi otot meningkat, serat otot lebih banyak dan lebih menghasilkan potensial aksi. Ketika otot sepenuhnya dikontrak, ada akan muncul sebuah kelompok teratur potensi tindakan tarif yang bervariasi dan amplitudo (a perekrutan lengkap dan pola interferensi).





 Hasil Abnormal
EMG digunakan untuk mendiagnosa penyakit yang umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu kategori berikut: neuropati, penyakit sambungan neuromuskuler dan myopathies.
 Penyakit neuropatik memiliki karakteristik berikut mendefinisikan EMG:
 Sebuah amplitudo potensial aksi yang dua kali normal karena peningkatan jumlah serat per unit motor karena reinervasi dari serat denervasi
 Peningkatan durasi aksi potensi
 Penurunan jumlah unit motor di otot (seperti yang ditemukan menggunakan teknik nomor motor unit estimasi
 Penyakit miopati memiliki karakteristik EMG menentukan:
 Penurunan durasi tindakan potensial
 Penurunan di daerah tersebut untuk rasio amplitudo potensial aksi
 Penurunan jumlah unit motor di otot (dalam kasus yang sangat parah saja)
 Karena individualitas masing-masing pasien dan penyakit, beberapa karakteristik ini mungkin tidak muncul dalam setiap kasus.
 Hasil abnormal dapat disebabkan oleh kondisi medis berikut (harap dicatat ini adalah tempat di dekat sebuah daftar lengkap dari kondisi yang dapat mengakibatkan EMG abnormal):
• Beralkohol neuropati
• Amyotrophic lateral sclerosis
• Sindrom kompartemen anterio
• Aksiler saraf disfungsi
• Distrofi otot Becker
• Brakialis plexopathy
• Carpal tunnel syndrome
• Centronuclear miopati
• Serviks spondylosis
• Charcot-Marie-Tooth penyakit
• Kronis kekebalan demielinasi Poli [radiculo] neuropati (CIDP)
• Disfungsi saraf Common peroneal
• Denervasi (stimulasi saraf berkurang)
• Dermatomiositis
• Distal disfungsi saraf median
• Duchenne distrofi otot
• acioscapulohumeral distrofi otot (Landouzy-Dejerine)
• Paralisis periodik Keluarga
• Disfungsi saraf femoralis
• Kolom kondisi
• Friedreich ataxia
• Guillain-Barre
• Lambert-Eaton Sindrom
• Mononeuritis multiplex
• Mononeuropathy
• Penyakit Motor neuron
• Beberapa sistem atrofi
• Myasthenia gravis
• Miopati (otot degenerasi, yang dapat disebabkan oleh sejumlah gangguan, termasuk distrofi otot)
• Myotubular miopati
• Neuromyotonia
• Peripheral neuropath
• Poliomyelitis
• Polymyositis
• Radial disfungsi saraf
• Disfungsi siatik saraf
• Polineuropati sensorimotor
• Tidur bruxism
• Spinal stenosis
• Thyrotoxic paralisis periodic
• Disfungsi tibial saraf
• Ulnaris saraf disfungsi.
 Prosedur Pelaksanaan
 Prosedur dapat dilakukan disamping tempat tidur atau di ruangan tindakan khusus.
 Elektrode di tempatkan pada syaraf-syaraf yang akan di periksa
 Dimulai dengan dosis kecil rangsangan listrik melalui elektrode ke saraf dan otot, apabila konduksi pada syaraf selesai maka otot akan segera berkontraksi.
 Untuk mengetahui poensial otot di gunakan macam-macam jarum elektroda dari nomor 1,3-7,7 cm.
 Pasien mungkin di anjurkan untuk melakukan aktivitas untuk mengukur potensial otot selama kontraksi minimal dan maksimal.
 Derajat aktivitas saraf dan otot di rekam pada osiloskop dan akan memberikan gambaran grafik yang dapat di baca.
 Perawat berusaha memberikan rasa nyaman dan memantau daerah penusukan terhadap kemungkinan terjadinya hematoma.

Rabu, 11 Mei 2011

askep cerebral palsy pada anak

BAB I
PENDAHULUAN
Palsy Cerebralis merupakan kelainan motorik yang banyak di ketemukan pada anak-anak. Di klinik tumbuh kembang RSUD Dr. Soetomo pada periode 1988-1991, sekitar 16,8% adalah dengan palsy Cerebralis. William Little yang pertama kali mempublikasikan kelainan ini pada tahun 1843, menyebutkan dengan istilah serebral diplegia sebagai akibat dari prematuritas atau asfiksia Neonatorium. Pada waktu itu kelainan ini di kenal sebagai penyakit dari Little. Sigmund Freud menyebutkan kelainan ini dengan istilah Infatil Cerebral Faralisis. Sedangkan Sir William Osler adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah Cerebral palsy. Nama lainnya adalah static encefalophaties of Chaildhood.
Angka kejadian sekitar 1-5 per 1000 anak. Laki-laki banyak daripada wanita. Sering terdapat pada anak pertama, mungkin karna anak pertama mengalami kesulitan pada waktu dilahirkan. Angka kejadiannya lebuh tinggi pada bayi BBLR dan anak kembar. Umur ibu sering dari 40 tahun, lebih-lebih dari multi para.
Franky (1994) pada penelitiannya di RSUP Sangatlah. Denpasar mendapatkan bahwa 58,3% penderita palsy Cerebralis di teliti adalah laki-laki, 62,5% anak pertama, umur ibu semua di bawah 30 tahun, 87,5% berasal dari persalinan spontan letak kepala dan 75% dari kehamilan cukup bulan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Definisi yang dipakai secara luas adalah definisi menurut Bax (dikutip dari Thamrin Syam) dimana dikatakan bahwa: Palsy Cerebralis adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif, oleh karna suatu kerusakan/ gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya.
Walaupun lesi Cerebral tersebut bersifat statis dan tidak progresif, tetapi tanda-tanda perkembangan Neurom Perifer akan berubah akibat dari maturasi sesuai dengan bertambahnya umur anak.
Tetapi yang masih menjadi kontroversi adalah tentang sampai umur berapa otak dikatakan sedang tumbuh itu, ada penulis yang mengatakan sampai 5 tahun dan ada juga yang mengatakan sampai 8 tahun. Demikian pula dengan pemakaian istilah ”Cerebral” pada palsy Cerebralis di anggap kurang tepat, karena kerusakan tidak hanya pada korteks Cerebralis, tetapi juga dapat mengenai ganglia basalis, pontina, pusat-pusat pada subkortikal midbrain atau serebelum. Istilah "palsy” juga kurang tepat, karena pada palsy cerebralis jarang di temukan paralisis, tetapi yang Nampak adalah hipotoni, gerakan yang berlebihan atau gangguan control motorik.

B. ETIOLOGI
Palsy Cerebralis dapat disebabkan faktor genetik ataupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Sedangkan hal-hal lainnya diperkirakan sebagai penyebab palsy cerebralis adalah sebagai berikut:
1. Pranatal
Infeksi terjadi pada masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit infeksi sitomegalik. Kelainan yang menyolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan paralisis serebral.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia. Penyebab terbanyak ditemukan dimulai pada masa perinatal ialah cedera otak. Keaaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terjadi pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar.
b. Perdarahan otak. Perdrahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.
c. Prematuritas. Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembulu darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
d. Ikterus. Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta. Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral.
3. Pascanatal.
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat menyebabkan paralisis serebral misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan luka parut pada otak pascaoperasi.

C. MANIFESTASI KLINIS
a. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan.
Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
Golongan spastitis ini meliputi / 3 – ¾ penderita cerebral palsy. Bentuk kelumpuhan spastitis tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan, yaitu:
1) Monoplegia/ Monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
2) Hemiplegia/ Diparesis
Kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama.
3) Diplegia/ Diparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan.
4) Tetraplegia/ Tetraparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
b. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.
c. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.
d. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.
e. Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis.
f. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
g. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.
h. Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.


i. Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran.
j. Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal.
k. Gangguan perkembangan mental
Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
l. Problem emosional terutama pada saat remaja.

D. PATOFISIOLOGI
• Adanya maflormasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower gyri, saluran sulci dan berat otak rendah.
• Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. CP (Cerebral Palsy) dapat dikaitkan dengan prematur yaitu spastik displegia yang disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemorrage dalam ventrikel.
• Type athetoid/dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, adanya berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf nuclei kranial. Selain itu juga dapat terjadi bila basal ganglia mengalami injury yang ditandai dengan tidak terkontrol; pergerakan yang tidak disadari dan lambat.
• Type CP hemiparetic, karena trauma pada kortek atau CVA pada arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia; hypoglicernia neonatal dihubungkan dengan ataxia CP.
• Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor korteks yang ditandai dengan ketegangan otak dan hiperresponsif. Refleks tendon yang dalam akan mengingkatkan dan menstimulasi yang dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-tiba pada sedikit atau semua ekstermitas.
• Ataxic CP adanya injury dari serebelum yang mana mengatur koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak terkoordinasi pada ekstermitas atas bila anak memegang/menggapai benda. Ada pergerakan berulang dan cepat namun minimal.
• Rigid/tremor/atonic CP ditandai dengan kekakuan pada kedua otot fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada deformitas multipel yang terkait dengan kurangnya pergerakan aktif.
• Secara umum cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan retardasi mental dan microcephaly.

E. PATOGENESIS
Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke 56 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya.
Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 24. Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali.
Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 35. Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu secara radial, sd berdiferensiasi dan daerah periventnikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam koerteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial sd berdiferensiasi dan zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus kalosum.
Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal. Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan metabolisme. Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini terjadi proliferasi sd neuron, dan pembentukan selubung mialin.
Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis daerah paraventkuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum.
Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis.
Kerniktrus secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati ganglia basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak; bisa menyebabkan cerebral palsy tipe atetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi. Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel.
Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang ireversibel. Lesi ireversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa mengakibatkan bangkitan epilepsi.

F. KOMPLIKASI
• Kontraktur
• Sering mengalami infeksi pernafasan karena kurangnya aktifitas
• Retardasi mental
• Konstipasi
• Gangguan pendengaran

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
• Riwayat dan gambaran klinik
• Pemeriksaan refleks
• EEG
• CT Scan
• Pemeriksaan Elektronik

H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi fisik
• Brances (alat penyokong)
• Splint (pembalutan)
• Casting (pemasangan gibs)
2. Alat-alat: kursi roda atau yang lainnya.
3. Terapi kerja; menulis, makan, minum, dll (ADL)
4. Terapi bicara
5. Pendidikan khusus
6. Terapi medik; spastic, nyeri sekunder kondisi bladder

II. KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
• Identifikasi anak yang mempunyai risiko
• Kaji iritabel anak, kesukaran dalam makan, perkembangan terlambat, perkembangan pergerakan kurang, poster tubuh yang abnormal, reflelks bayi yang persisten, ataxica, kurangnya tonus otot.
• Monitor respon untuk bermain
• Kaji fungsi intelektual anak

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko injury berhubungan dengan spasme, pergerakan yang tidak terkontrol dan kejang
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan apasme dan kelemahan otot-otot
3. Perubahan tumbuh kembang berhubungan dengan gangguan neuromuskular
4. Gangguan komunitas verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskular dan kesukaran dalam artikulasi
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan dan meningkatnya aktivitas
6. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan neuromuskular
7. Perubahan proses pikir berhubungan dengan gangguan serebral injury, ketidakmampuan belajar
8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan spasme otot meningkatnya aktivitas, perubahan kognitif
9. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah dan kebutuhan terapi
10. Perubahan peran orang tua berhubungan dengan ketidak mampuan anak dalam kondisi kronik
11. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penggunaan atau alat penyokong

C. PERENCANAAN
1. Anak akan selalu aman dan terbebas dari injury
2. Anak akan memiliki kemampuan pergerakan yang maksimum dan tidak mengalami kontraktur
3. Anak akan mengeksplorasi cara belajar dan ikut berpartisipasi dengan anak lain dalam melakukan beberapa aktivitas
4. Anak akan mengekspresikan tentang kebutuhan dan mengebangkan metoda dalam berkomunikasi dengan orang lain
5. Kebtuhan status nutrisi anak akan tetap terpenuhi yang ditandai dengan berat badan dalam batas normal
6. Anak tidak mengalami aspirasi
7. Anak akan menunjukkan tingkat kemampuan belajar yang sesuai
8. Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi
9. dan 10. Orang tua atau keluarga menunjukkan pemahaman terhadap kebutuhan perawatan anak yang ditandai dengan ikut berperan aktif dalam perawatan anak
11. Anak tidak menunjukkan gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.

D. IMPLEMENTASI
1. Meningkatakn kebutuhan keamanan dan mencegah injury
• Hndari anak dari benda-benda yang membahayakan ; misalnya dapat terjatuh
• Perhatikan anak-anak saat beraktifitas
• Beri istirahat bila anak lelah
• Gunakan alat pengaman bila diperlukan
• Bila ada kejang; pasanga alat pengaman dimulut agar lidah tidak tergigit
• Lakukan suction
• Pemberian anti kejang bila terjadi kejang
2. Meningkatkan kemampuan mobilitas fisik
• Kaji pergerakan sendi –sendi dan tonus otot
• Lakukan terapi fisik
• Lakukan reposisi setiap 2 jam
• Evaluasi kebutuhan alat-alat khusus untuk makan, menulis, membaca, dan aktivitas
• Ajarkan dalam menggunakan alat bantu jalan
• Ajarkan cara bantu duduk, merangkak pada anak kecil, berjalan dll
• Ajarkan bagaimana cara menggapai benda
• Ajarkan untuk menggerakkan anggota tubuh
• Ajarkan ROM (Range Of Motion) yang sesuai
• Beri periode istirshat
3. Meningkatkan kebutuhan tumbuh kembang dalam tingkat yang optimum
• Kaji tingkat tumbuh kembang
• Ajarkan untuk intervensi awal dengan terapi rekreasi dan aktivitas sekolah
• Berikan aktivitas yang sesuai, menarik dan dapat dilakukan aleh anak
4. Meningkatkan komunikasi
• Kaji respon dalam berkomunikasi
• Gunakan kartu/gambar-gambar/papan tulis untuk memfasilitasi komunikasi
• Libatkan keluarga dalam melatih anak berkomunikasi
• Rujuk ke ahli terapi bicara
• Ajarkan dan kaji makna non verbal
• Latih dalam penggunaan bibir, mulut dan lidah
5. Meningkatkan kebutuhan status nutrisi
• Kaji pola makan anak
• Timbang berat badan setiap hari
• Berikan nutrisi yang adekuat dan makanan yang disukai, banyak mengandung protein, mineral dan vitamin
• Berikan makanan ekstra yang mengandung banyak kalori
• Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kemampuannya
• Bantu selama anak memenuhi kebutuhan; makan dan minum
6. Mencegah terjadinya aspirasi
• Lakukan suction segera bila ada sekret
• Berikan posisi tegak lurus atau setengah duduk saat makan dan minum
• Kaji pola pernafasan
7. Meningkatkan kebutuhan intelektual
• Kaji tingkat pemahaman anak
• Ajarkan dalam memahami percakapan dengan verbal atau non verbal
• Ajarkan menulis dengan menggunakan papan tulis atau alat lain dapat digunakan sesuai kemampuan orang tua dan anak
• Ajarkan membaca dan menulis sesuai dengan kebutuhannya
8. Memenuhi kebutuhan sehari-hari
• Kaji tingkat kemampuan anak dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
• Bantu dalam pemenuhan kebutuhan; makan minum, eliminasi, kebutuhan perseorangan, mengenakan pakaian, aktivitas bermain
• Libatkan keluarga dan bagi anak yang kooperatif dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
9. Meningkatkan pengetahuan dan peran orang tua dalam memenuhi kebutuhan perawatan anak
• Kaji tingkat pengetahuan orang tua
• Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan tentang kondisi
• Ajarkan orang tua dalam memenuhi kebutuha perawatan anak
• Ajarkan tentang kondisi yang dialami anak dan terkait dengan latihan terapi fisik dan kebutuhan
• Tekankan bahwa orang tua atau keluarga mempunyai peranan penting dalam membantu pemenuhan kebutuhan
• Elaskan pentingnya pemenuhan kebutuhan bermain dan sosialisasi pada orang lain
10. Mencegah kerusakan integritas kulit
• Kaji area yang terpasang alat penyokong
• Gunakan lotion kuit untuk mencegah kulit kering
• Lakukan pemijatan pada area yang tertekan
• Berikan posisi yang nyaman dan berikan support dengan bantal
• Pastikan bahwa alat penyokong atau balutan tepat dan terfiksasi

E. PERENCANAAN PEMULANGAN
• Berikan informasi pada orang tua/keluarga tentang perkembangan anak, prognosis, rencana perawatan dan berikan jawaban yang jujur bila mereka menanyakan dan ajarkan bagaimana keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan perawatan anak bila mungkin
• Ajarkan pada keluarga untuk mengekspresikan perasaan secara verbal tentang perhatian, perasaan bersalah, menolak, marah dan takut
• Kaji pengetahuan keluarga tehadap ketidak mampuan anak dan kebutuhan fisik, beraktivitas dan berbicara
• Demonstrasikan teknik pemberian makan pada anak untuk mencegah aspirasi
• Berikan pujian positif pada keluarga atas keterlibatannya dalam perawatan anak
• Jelaskan kemungkinan ada gejala aspirasi, distress pernafasan, retensi kandung kemih, konstipasi dan segera lapor keperawat
• Ajarkan bagaimana untuk mencegah kerusakan kulit bila ada pemasangan alat bantu atau penyokong
• Jelaskan penting menstimulasi anak dengan terapi bermain yang sesuai kondisi dan sosialisasi dengann orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
dr. Soetjiningsih, SpAK., (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta. EGC.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suriadai, Skp, MSN., Rita Yuliani, Skp, M.Psi. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Perpustakaan Nasional RI. Jakarta. CV.SAGUNG SETO.
http//file:///D:/FD/CP/askep-cerebral-palsy-pada-anak-cp.html.

askep TB paru pada anak

A. KONSEP MEDIK
1. PENGERTIAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium biasanya terjadi di system respirasi manusia, atau
Penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri tahan asam.

2. ETIOLOGI
• Jenis kuman berbentuk batang, ukuran panjang 1–4/um dan tebal 0,3 – 0,6/um. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman tahan asam dan lebih tahan terhadap kimia, fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru, daerah ini yang menjadi prediklesi pada penyakit tuberkulosis.
• Mycobakterium bovis
• Herediter : resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetic.
• Jenis kelamin : pada akhir masa kanak – kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
• Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi
• Pada masa puber dan remaja dimana terjadi masa pertumbuhan yang cepat, kemunginan infeksi cukup tinggi karena diet yang tidak adekuat.
• Keadaan stress : situasi yang penuh stress( penyakit, kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik)
• Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk penyebar luasan infeksi
• Nutrisi : satuan nutrisi yang kurang
• Infeksi berulang : HIV, measles, pertusis
• Tidak memenuhi turan pengobatan.

3. TANDA DAN GEJALA
• Dahak bercampur darah
• Batuk darah
• Sesak nafas dan rasa nyeri dada
• Badan lemah, nafsu makan menurun
• Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influensa..
• Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh darah).
• Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
• Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
• Malaise , anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam

4. MANIFESTASI KLINIS
• Demam, malaise, anoreksia, berat badan menurun, kadang-kadang batuk (batuk tidak selalu ada, menurun sejalan dengan lamanya penyakit), nyeri dada, hemoptysis.
• Gejala lanjut, (jaringan paru – paru sudah banyak rusak) : pucat, anemia lemah dan berat badan menurun.
• Pemulaan tuberculosis primer biasanya sukar diketahui karena mulainya penyakit secra perlahan. Kadang tuberculosis ditemukan pada anak tanpa gejala atau keluhan.

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
• Pemeriksaan fisik
• Riwayat penyakit : riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi penyakit
• Reaksi terhadap test tuberculin : reaksi test positif ( diameter = 5mm) menunjukkan adanya infeksi primer
• Radiologi : terdapat kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran pembesaran kelenjar paratrakeal, penyebran milier, penyebaran bronkogen, atelektasis, pleuritis dengan efusi, cairan asites.
• Kultur sputum : kultur bilasan lambung atau sputum, cairan pleura, urine, cairan serebrospinal cairan nodus limfe ditemukan hasil tuberculosis.
• Patologi anatomi dilakukan pada kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit ditemukan tuberkal, dan basiltahan asam
• Uji BCG: reaksi positif jika setelah mendapatkan suntikan BCG langsung terdapat reaksi local yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari set penyuntikan.
• Infeksi TB : hanya diperlihatkan oleh skin test tuberculin positif
• Penyakit TB : gambaran radiologi positif, kultur sputum posif, dan adanya gejala- gejala penyakit



6. PATOFISIOLOGI
• Masuknya kuman tuberculosis didalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberculosis serta daya tahan tubuh manusia.
• Segera setelah menghirup basil tuberculosis hidup kedalam paru – paru, maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas disebut focus primer. Basil tuberculosis akan menyebar, histosit mulai mengangkut organisme tersebut kekelenjar limfe regional melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional sehingga terbentuk komplek primer dan mengadakan reaksi eksudasi terjadi sekitar 2-10 minggu(6-8 minggu) pasca infeksi.
• Bersamaan denga terbentuknya kompleks primer terjadi pula hypersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui melalui uji tuberculin. Masa terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi.
• Pada anak yang mengalami lesi, dalam paru dapat terjadi dimanapun terutama di perifer dekat pleura,tetapi lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru dibanding dengan lapangan atas. Juga terdapat pembesaran kelenjar regional serta penyembuhannya mengarah ke klasifikasi dan penyebarannya lebih banyak terjadi melalui hematogen.
• Pada reaksi radang dimana leukosit polimorfonuklear tampak pada alveoli dan memfagosit bakteri namun tidak membunuhnya. Kemudian basil menyebar ke limfe dan sirkulasi. Dalam beberapa minggu limfosit T menjadi sensitive terhadap organisme TBC dan membebaskan limfokin yang merubah makrofag atau mengaktiifkan makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa nekrosis yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis pada bagian sentral memberikan gambaran yang relatifpadat pada keju, yang disebut nekrosis kaseosa.
• Terdapat 3 macam penyebaran secara patogen pada tuberculosis anak; penyebaran hematogen tersembunyi yang kemudian mungkin menimbulkan gejala atau tanpa gejala klinis, penyebaran milier, biasanya terjadi sekaligus dan menimbulkan gejala akut, kadang – kadang kronis, penyebaran hematogen berulang.

7. PENATALAKSANAAN
• Nutrisi adekuat
• Kemoterapi : pemberian terapi pada tuberculosis didasarkan pada 3 karasteristik basil, yaitu basil yang berkembang cepat ditempat yang kaya akan oksigen, basil yang hidup dalam lingkungan yang kurang oksigen berkembang lambat dan dorman hingga nbeberapa tahun, basil yang mengalami mutasi sehingga resistensi terhadap obat. Isonized (INH) bekerja sebagai bakterisidal terhadap basil yang tumbuh aktif, diberikan selama 18-24 bulan, dosis 10-20 mg/kgbb/hari melalui oral. Selanjutnya kombinasi antara INH, rifampizin, dan pyrazinamid (PZA) diberikan selama 6 bulan. Selama 2 bulan pertama obat diberikan setiap hari, selanjutnya obat diberiakan 2 kali dalam 1 minggu. Obat tambahan antara lain streptomycin (diiberikan intramuscular) dan ethambutol. Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat antituberculosis, untuk mengurangi respon peradangan, misalnya pada meningitis.
• Pembedahan : dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Dilakukan dengan cara mengangkat jaringan paru yang rusak, tindaka ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulornatosa tuberculosis atau untuk reseksi bagian paru yang rusak.
Pencegahan ; menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberculosis, mempertahankan status kesehatan dengan intake nutrisi yang adekuat, meminum susu yang sudah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan karnoterapi, pemberian imunisasi BCG untuk menungkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberculosis virulen.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
 Riwayat keperawatan : riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi, penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
 Kaji adanya gejala – gejala panas yang naik turun dan dalam jangka waktu lama ; batuk yang hilang timbul, anoreksia, lesu, kurang nafsu makan, hemoptysis.




2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan jaringan paru
 Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme virulen
 Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
 Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret
Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan. Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.

Intervensi:
a. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan otot aksesori..
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu..
e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi..g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.

 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan jaringa paru
Tujuan: Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala distress pernapasan.

Intervensi
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.

 Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme virulen
Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.

Intervensi
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
e. Monitor temperatur.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.
Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
j. Monitor sputum BTA
Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.

 Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
Tujuan: Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
b. Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai..c. Monitor intake dan output secara periodik. d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
e. Anjurkan bedrest.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
i. Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.
j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
k. Berikan antipiretik tepat.

 Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan. Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru. Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi. Menerima perawatan kesehatan adekuat.

Intervensi
a. Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
c. Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.
d. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
e. jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
f. jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah
g. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
h. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.. k. Anjurkan untuk berhenti merokok.

4. IMPLEMENTASI
 Mencegah perluasan infeksi tidak terjadi
 Meninglkatkan pertukaran gas yang adekuat
 Meningkatkan pola nafas yang efektif dan kepatenan jalan nafas
 Memenuhi kebutuhan nutrisi
 Membantu memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan.

5.EVALUASI
Keefektifan bersihan jalan napas.
 Fungsi pernapasan adekuat untuk mernenuhi kebutuhan individu.
Perilaku/pola hidup berubah untuk mencegah penyebaran infeksi
Kebutuhan nutrisi adekuat, berat badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi
 Pemahaman tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan perilaku untuk memperbaiki kesehatan

DAFTAR PUSTAKA
Suriadi, Yuliani R. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 2. 2010. Jakarta : Sagung Seto
Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
Doengoes, (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.